My World in My Head
semua yang tertuang berguna untuk menghilangkan stress. Tidak bermaksud menyinggung siapapun. Ini tentang aku, dan dunia di sekelilingku.
Sabtu, 20 Oktober 2018
Kamis, 18 Oktober 2018
Amnesia
Story written by : Karizzta
Disclaimer : Hiro Mashima
.
.
Gray
duduk di depan halte bus dengan mata menerawang ke depan. Sepuluh menit, dua
puluh menit, tiga puluh menit tak kunjung beranjak. Kantong plastik yang dia
taruh di dekatnya enggan ia buka. Es
krim yang dia beli di toko supermarket dekat halte pasti sudah mencair.
Gray
tadi merasa lapar sehingga ia akhirnya beranjak dari kamarnya yang nyaman.
Niatnya memakan es krim sambil menunggu bus datang. Tapi bus yang datang lima
menit yang lalu tak ia hiraukan. Pikirannya menerawang jauh.
Entah
kenapa, akhir-akhir ini Gray merasa tengah mencari-cari sesuatu. Lebih tepatnya
sesuatu yang hilang. Tapi apa? Apakah itu sebuah benda atau seseorang?
Gray
memandang langit yang sore ini mendung. Awan terlihat berarak dengan cepat,
saling berkejaran kemudian berkumpul untuk sepakat memilih tempat paling tepat
untuk menurunkan hujan.
Hujan,
pikir Gray dalam hati. Hujan sepertinya tak asing baginya. Bukan, bukan karena
hujan itu bagian dari musim yang memang selalu ada. Tapi Gray merasa ada
sesuatu mengenai dirinya yang berkaitan dengan hujan.
Hujan
itu... seperti identik dengan seseorang. Tunggu... seseorang? Tapi siapa? Gray tidaklah
ingat. Semakin lama ia mencoba mengingat, maka rasa sakit di kepalanya semakin
menjadi. Gray menggelengkan kepalanya pelan. Angin yang menghembuskan hawa
dingin ini sepertinya mulai mengacaukan pikirannya. Benar, gara-gara angin
inilah. Gray hanya akan menyalahkan angin ini untuk saat ini.
~000~
Gray
mengeratkan tali sepatunya dengan cepat. Gray melirik jam di tangannya dan
mendengus. Gray harus memilih berlari untuk sampai ke halte atau dia akan
terlambat datang ke sekolah. Setelah sampai di halte, Gray melihat bus yang
baru saja berhenti kemudian mulai menaikinya.
Gray
menghembuskan nafas lega setelah berhasil sampai di depan kelasnya. Niatnya
akan memasukinya sebelum sebuah suara tak asing ia dengar.
“Hai,
Gray... lama tidak berjumpa. Kau masih hidup rupanya?”
Gray
menengokkan kepalanya kemudian mendecih. Satu-satunya makhluk yang tak ingin
dia temui sekarang malah datang tak diundang. Baru saja ia ingin menanggapi,
manik mata biru gelapnya menangkap seseorang yang berada di samping Leon. Lebih
tepatnya di dekap oleh temannya itu.
Siapa?
Pikir Gray dalam hati. Kenapa wajahnya tidak asing?
“Haloo,
Gray Fullbuster yang mesum. Bagaimana pacar baruku? Cantikkan?” katanya dengan
mengeratkan pelukannya pada lengan gadis itu.
“Tidak
juga,” balas Gray dengan mengalihkan wajahnya.
Ini
aneh, biasanya dirinya akan kesal mendengar candaan Leon, tapi sekarang yang
Gray inginkan hanyalah memandang manik
mata gadis yang berada di depannya. Gadis yang memandangnya dengan cara yang
tak biasa. Seperti ada sesuatu yang ingin di sampaikan gadis itu kepadanya.
Sebelum
sempat menanyakannya, bel tanda masuk telah berbunyi.
“Yo,
Gray, Aku harap kau baik-baik saja, ” Katanya sebelum pergi dari hadapannya.
Sedang gadis itu hanya membungkuk sedikit dengan sopan, tanda dia akan pergi.
Gray
memandang mereka berdua. Melihat mereka yang berjalan beriringan. Gray melihat
punggung gadis berambut pendek itu. Tangan gadis itu tak lagi
bergenggaman
dengan Leon.
Gray
membalikkan punggungnya dan memasuki kelas. Ada Natsu, sahabat bodohnya itu
yang melambaikan tangan kepadanya seperti orang gila. Juga Lucy yang sibuk
membaca buku bersama Levy. Gray hanya bisa tersenyum tipis. Tipis sekali hingga
tak terlihat.
[.]
Secret !
Summary:
Tentang Rina Maharani.
Ketua kelas yang cuek tapi penyayang. Manis di depan guru,
tapi galak sama teman sekelasnya. Diam-diam Rina naksir sama ketua kelas di
kelas sebelahnya, Aldi namanya. Anaknya ganteng, suka menolong dan rajin
ibadah.
Rina sudah kelas 3 SMA. Kalau ditanya cita-citanya? Rina
bakal jawab jadi Astronot dengan ngawurnya.
Suatu ketika, ada rumor yang beredar kalau Aldi itu suka
merokok dan pasang tatto. Rini nggak percaya . Sejak saat itu, Rina mulai
menemukan tujuan hidupnya yang baru.
Menemukan Rahasia Terbesar Aldi. Titik.
Haidar
Story written by Karizzta
Orang bilang.. masa SMA adalah masa-masa yang indah. Masa dimana kamu akan menjadi dewasa. Masa dimana kamu tidak akan pernah lupa. Karena itulah aku berharap aku akan mempunyai harapan baru dan tidak akan pernah lupa. Karena itulah yang kupikirkan ketika aku menginjakkan kaki ke sekolah ini. Tapi harapan itu sirna seketika.
BYUUR!
Saat sebuah air jatuh membasahi tubuhku ketika aku sedang berjalan di tepian koridor sekolah menuju kelasku. Aku dengan segera menengok ke atas. Tepat dilantai tiga itu aku melihat siluet dua orang yang dengan cepat berbalik menyembunyikan tubuh mereka.
Masih pagi. Dan aku sudah diberi hadiah oleh orang yang tak kuketahui. Oh mungkin saja aku tahu! pastinya kalau saja bisa melihat wajah mereka.
Aku melihat tubuhku yang basah kuyub. Semuanya basah. Dari rambutku yang kukuncir satu, airnya menetes pelan turun dari atas kepala, melewati pipi dan dagu kemudian jatuh ke bahu. Aku bertanya-tanya berapa banyak air di ember yang mereka guyur ke badanku.
Aku melihat badanku yang basah. Untung saja aku memakai kaos pendek berwarna hitam sebagai baju dalaman, kalau tidak aku pikir aku bakal malu setengah hidup.
Bel kemudian berbunyi. Tanda masuk sekolah. Benar ini masih pagi dan aku sudah mandi dua kali. Tiba-tiba saja aku mendapat ide. Aku masih punya baju olahraga di lokerku.
Aku menuju tempat loker. Tempatnya agak terpisah dari kelas. Aku melihat koridor yang telah sepi. Murid-murid telah memasuki kelas. Dan aku sekarang tersadar kalau aku mungkin harus membolos jam pelajaran pertama.
Ku buka lokerku pelan-pelan. Dan betapa kagetnya ketika aku melihat beberapa kecoa berurutan turun dengan langkah hati-hati agar tidak terpeleset dari loker yang berbahan dasar besi. Oh Tuhan.. lebih kaget lagi ketika aku mencoba melihat ke dalam loker dimana disitu terdapat baju olahragaku yang telah terdapat beberapa butir telur atau feses dari sang kecoa yang sepertinya telah menginap dengan damai semalaman di lokerku yang nyaman.
Sudah cukup! Kataku dalam hati.
Aku membanting pintu loker tanpa menguncinya kembali. Namun setelah beberapa langkah berjalan, kemudian aku sadar, bagaimana jika ada yang menaruh kecoa lagi atau mungkin hewan yang lebih mengerikan dari kecoa.
Kemudian aku berbalik untuk mengunci lokerku kembali. Kali ini aku benar-benar mempunyai ide.
Aku melangkahkan kakiku dengan cepat ke arah ruang BK. Masa bodoh dengan aku yang belum pernah melangkah masuk ruangan itu. Atau masa bodoh dengan rumor yang mengatakan ruang BK itu menyeramkan.
Tok. Tok. Tok.
Aku mengetuk pintu ruangan BK. Ruangnya dekat dengan ruang guru. Hanya saja ruang BK hampir seperti ruang kepala sekolah yang di dalamnya terdapat sekat-sekat dan pintunya di dalamnya di lapisi kaca.
Sebelum pintu terbuka, aku menyempatkan diri untuk membuka tas selempangku. Berharap di dalamnya masih ada beberapa buku yang dapat selamat. Saat aku akan menarik resleting tasku untuk membukanya tiba-tiba pintu terbuka.
Ditengah-tengah pintu itu ada guru BK yang terkenal seantero sekolah. Itu Pak Bambang, guru BK berkumis panjang yang katanya garang. Kenapa aku tahu? Karena saat masa MOS sekolah, dia selalu nangkring di depan gerbang. Mampus! Kenapa dari semua guru, harus dia yang jaga pada hari ini? Oh My God.
"Maaf pak, tidak jadi." Aku berkata saat Pak Bambang dengan matanya yang tajam melihatku. Baru saja aku akan berbalik pergi dari hadapannya. Pak Bambang memanggilku.
"Eh tunggu dulu? Kamu kenapa basah begitu?"
Aku berbalik dan tersenyum manis. Senyum manis memelas. Belum aku mengeluarkan kata-kata, Bapak berkumis itu telah menyelanya terlebih dahulu.
"Nama kamu siapa?"
"Rere pak."
"Sini kamu," Katanya menyuruhku masuk ke dalam ruangan.
[.]
Hal pertama yang aku sadari adalah aku berada di dalam situasi yang tidak menguntungkan. Aku tidak tahu mengapa aku dapat berada dalam situasi yang awkward seperti ini. Setelah disuruh masuk ke ruang BK oleh Pak Bambang. Dia tidaklah langsung menanyaiku. Dia malah pergi dan sekarang aku hanya berdua bersama dengan cowok yang tidak kukenal. Duduk berdua di sofa melingkar yang disediakan di ruang ini. Tidak peduli sofa itu basah. Mimpi apa aku tadi semalam? Aku mencoba mengingat-ingat.
"Ck."
Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara aneh. Kupikir tadinya suara cicak. Namun ternyata suara itu dibuat oleh makhluk yang berada di depanku.
Aku melirik ke arahnya. Dan dia langsung menatapku tajam. Tatapannya lebih tajam dari Pak Bambang. Tatapannya seolah-olah mengatakan apa lihat-lihat. Itu yang terbaca dariku. Tapi anehnya, aku penasaran dengannya. Tidak pernah aku merasa sepenasaran ini dengan seseorang.
Cowok itu mengenakan jaket. Baju seragam sekolahnya dikeluarkan dan dia tidak mengenakan dasi. Rambutnya berwarna pirang. Tunggu dulu, apa itu benar-benar pirang? Aku mengedip-ngedipkan mataku. Atau karena ruangan ini yang agak gelap, mataku menjadi rabun?
"Apa?" Tanyanya.
"Itu." Aku menunjuk kepalanya dengan tanganku. "Apa itu berwarna pirang?" Lanjutku yang tanpa kusadari telah bertanya.
Dia memegang sebelah kepalanya, kemudian menjawab dengan ketus. " Bukan urusan lo."
Aku merengut. Dan aku tidak mengerti mengapa aku harus merasa kesal karena aku tidak mendapat jawaban atas pertanyaanku. Aku ingin mendapat jawaban atas alasan mengapa dia harus mewarnai rambutnya.
Untunglah Pak Bambang kembali masuk sehingga rasa kesalku hilang. Tapi sekarang berganti dengan rasa was-was. Apa aku bakal di skors? Atau bakal disuruh membersihkan toilet yang baunya minta ampun itu? Aku menggeleng pelan.
"Kamu kenapa?" Tanya Pak Bambang.
"Eh, gak papa pak." Aku menjawab dengan pelan.
"Katanya bosen ngeliat wajah bapak." Satu suara yang tak enak didengar keluar dari bibir cowok itu. Sontak aku melihat ke arahnya.
Aku menggeleng. Kemudian mendelik pada cowok itu. Dari bibirnya, dapat kulihat kalau dia menahan senyum. Ragu-ragu, ku alihkan pandanganku pada Pak Bambang yang ternyata sedang berjalan melangkah mendekati cowok itu.
TAK! Suara kepala dijitak dengan keras disertai keluhan."Aduh."
Dan aku ingin tertawa melihat cowok itu yang menahan sakit. Tapi aku hanya menahannya.
"Saya yang sudah bosan melihat wajah bandelmu itu!" Kata Pak Bambang pada cowok itu.
"Lepas jaket kamu." Perintah pak Bambang pada cowok itu.
Tanpa bertanya cowok itu melepas jaketnya. Kemudian memberikannya pada Pak Bambang yang berdiri tepat di sampingnya.
"Berikan pada dia." Tunjuk Pak Bambang kepadaku.
Aku terkejut dan cowok itu juga sepertinya kaget tapi kemudian dengan cepat memperbaiki mimik wajahnya. Dia melemparkan jaketnya sembarangan sehingga mengenai wajahku.
Pak Bambang hanya menggeleng melihat kelakuan anak muridnya yang satu itu.
"Tadi Saya cari handuk, ternyata tidak ada. Baru ingat kamu punya jaket. Good job." Kata Pak Bambang.
Ternyata Pak Bambang baik juga, Pikirku dalam hati. Rumor yang beredar bahwa pak Bambang itu galak ternyata salah.
Aku dengan cepat memakai jaket berwarna hitam itu, tidak lupa meresletingnya. Aku melirik dari balik mataku pada cowok itu yang ternyata sedang melihatku. Wajahnya terlihat tidak ikhlas.
"Oh ya, kamu boleh pergi. Besok itu rambut sudah harus warna hitam atau bapak cukur botak." Pak Bambang berkata pada cowok itu.
“Iya-iya,” jawab cowok itu dengan malas-malasan. Pak Bambang cuma menggeleng melihat kelakuannya.
Cowok itu kemudian pergi tanpa menengok kembali. Aku melihat punggungnya yang berlalu pergi.
Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di dalam kepalaku.
"Pak, boleh saya tanya? Anak yang keluar tadi namanya siapa ya?" Tanyaku pada Pak Bambang.
"Kamu nggak kenal dia?" Tanya balik Pak Bambang yang sekarang bahasanya lebih sedikit informal.
"Ternyata ada juga yang nggak kenal dia," ucap Pak Bambang tersenyun tipis. Dia berjalan menuju mejanya kemudian merapikan buku-bukunya. "Namanya Haidar, kelas 2 IPA 1. Kenapa?"
"Ma-mau ngembaliin jaket ini nanti Pak." Kataku cepat sambil mengangkat sedikit jaket yang berada di dekapanku.
"Oh ya, tadi nama kamu siapa? Dari kelas apa? Kenapa bisa basah kuyub begitu?" Tanya Pak Bambang bertubi-tubi dengan tatapan mengintimidasi. Sekarang dia sudah duduk di hadapanku dengan siap siaga menginterogasiku.
Aku meneguk ludah. Berharap selamat kali ini. Aku tarik kata-kataku mengenai pak Bambang yang ngga galak. Rumor yang beredar itu benar.
[.]
Bel tanda istirahat pertama berbunyi. Ternyata aku sudah menghabiskan banyak waktu dengan panjang lebar cerita sama pak Bambang mengenai masalahku. Tahu jawaban apa yang kudapat setelah aku menceritakan semuanya.
“Kamu serius?
“Dua rius pak. Bapak kira aku bohong gitu?”
“Bukannya begitu Rene.”
“Rere pak.”
“Bapak nggak bisa percaya sama kamu begitu aja kalau belum ngelihat langsung.” Pak Bambang berkata dengan nada lebih lembut dan informal denganku. Ssepertinya dia sudah akrab denganku.
Aku cuma diam, berkedip sekali, menatap lama mata pak Bambang. Lalu menghela nafas. Rasanya ingin mencukur habis seluruh kumisnya.
“Begini... Pokoknya hari ini sekarang kamu bapak izinin pulang dulu. Besok-besok bawa dua baju barangkali ada yang iseng lagi sama kamu.”
Parah ini Bapak! Aku sudah ngomong jujur tapi nyatanya ngga bisa percaya sama aku. Dimana keadilan di dalam ruang BK ini? Apa aku juga harus nyuap pak Bambang pakai martabak biar mihak aku? kayak satpam depan kompleks rumah biar bukain portal kalau aku pulang kemalaman?
Sebelum aku pergi dari ruangan ini.
[.]
Part 1-Haidar
Orang bilang.. masa SMA adalah masa-masa yang indah. Masa dimana kamu akan menjadi dewasa. Masa dimana kamu tidak akan pernah lupa. Karena itulah aku berharap aku akan mempunyai harapan baru dan tidak akan pernah lupa. Karena itulah yang kupikirkan ketika aku menginjakkan kaki ke sekolah ini. Tapi harapan itu sirna seketika.
BYUUR!
Saat sebuah air jatuh membasahi tubuhku ketika aku sedang berjalan di tepian koridor sekolah menuju kelasku. Aku dengan segera menengok ke atas. Tepat dilantai tiga itu aku melihat siluet dua orang yang dengan cepat berbalik menyembunyikan tubuh mereka.
Masih pagi. Dan aku sudah diberi hadiah oleh orang yang tak kuketahui. Oh mungkin saja aku tahu! pastinya kalau saja bisa melihat wajah mereka.
Aku melihat tubuhku yang basah kuyub. Semuanya basah. Dari rambutku yang kukuncir satu, airnya menetes pelan turun dari atas kepala, melewati pipi dan dagu kemudian jatuh ke bahu. Aku bertanya-tanya berapa banyak air di ember yang mereka guyur ke badanku.
Aku melihat badanku yang basah. Untung saja aku memakai kaos pendek berwarna hitam sebagai baju dalaman, kalau tidak aku pikir aku bakal malu setengah hidup.
Bel kemudian berbunyi. Tanda masuk sekolah. Benar ini masih pagi dan aku sudah mandi dua kali. Tiba-tiba saja aku mendapat ide. Aku masih punya baju olahraga di lokerku.
Aku menuju tempat loker. Tempatnya agak terpisah dari kelas. Aku melihat koridor yang telah sepi. Murid-murid telah memasuki kelas. Dan aku sekarang tersadar kalau aku mungkin harus membolos jam pelajaran pertama.
Ku buka lokerku pelan-pelan. Dan betapa kagetnya ketika aku melihat beberapa kecoa berurutan turun dengan langkah hati-hati agar tidak terpeleset dari loker yang berbahan dasar besi. Oh Tuhan.. lebih kaget lagi ketika aku mencoba melihat ke dalam loker dimana disitu terdapat baju olahragaku yang telah terdapat beberapa butir telur atau feses dari sang kecoa yang sepertinya telah menginap dengan damai semalaman di lokerku yang nyaman.
Sudah cukup! Kataku dalam hati.
Aku membanting pintu loker tanpa menguncinya kembali. Namun setelah beberapa langkah berjalan, kemudian aku sadar, bagaimana jika ada yang menaruh kecoa lagi atau mungkin hewan yang lebih mengerikan dari kecoa.
Kemudian aku berbalik untuk mengunci lokerku kembali. Kali ini aku benar-benar mempunyai ide.
Aku melangkahkan kakiku dengan cepat ke arah ruang BK. Masa bodoh dengan aku yang belum pernah melangkah masuk ruangan itu. Atau masa bodoh dengan rumor yang mengatakan ruang BK itu menyeramkan.
Tok. Tok. Tok.
Aku mengetuk pintu ruangan BK. Ruangnya dekat dengan ruang guru. Hanya saja ruang BK hampir seperti ruang kepala sekolah yang di dalamnya terdapat sekat-sekat dan pintunya di dalamnya di lapisi kaca.
Sebelum pintu terbuka, aku menyempatkan diri untuk membuka tas selempangku. Berharap di dalamnya masih ada beberapa buku yang dapat selamat. Saat aku akan menarik resleting tasku untuk membukanya tiba-tiba pintu terbuka.
Ditengah-tengah pintu itu ada guru BK yang terkenal seantero sekolah. Itu Pak Bambang, guru BK berkumis panjang yang katanya garang. Kenapa aku tahu? Karena saat masa MOS sekolah, dia selalu nangkring di depan gerbang. Mampus! Kenapa dari semua guru, harus dia yang jaga pada hari ini? Oh My God.
"Maaf pak, tidak jadi." Aku berkata saat Pak Bambang dengan matanya yang tajam melihatku. Baru saja aku akan berbalik pergi dari hadapannya. Pak Bambang memanggilku.
"Eh tunggu dulu? Kamu kenapa basah begitu?"
Aku berbalik dan tersenyum manis. Senyum manis memelas. Belum aku mengeluarkan kata-kata, Bapak berkumis itu telah menyelanya terlebih dahulu.
"Nama kamu siapa?"
"Rere pak."
"Sini kamu," Katanya menyuruhku masuk ke dalam ruangan.
[.]
Hal pertama yang aku sadari adalah aku berada di dalam situasi yang tidak menguntungkan. Aku tidak tahu mengapa aku dapat berada dalam situasi yang awkward seperti ini. Setelah disuruh masuk ke ruang BK oleh Pak Bambang. Dia tidaklah langsung menanyaiku. Dia malah pergi dan sekarang aku hanya berdua bersama dengan cowok yang tidak kukenal. Duduk berdua di sofa melingkar yang disediakan di ruang ini. Tidak peduli sofa itu basah. Mimpi apa aku tadi semalam? Aku mencoba mengingat-ingat.
"Ck."
Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara aneh. Kupikir tadinya suara cicak. Namun ternyata suara itu dibuat oleh makhluk yang berada di depanku.
Aku melirik ke arahnya. Dan dia langsung menatapku tajam. Tatapannya lebih tajam dari Pak Bambang. Tatapannya seolah-olah mengatakan apa lihat-lihat. Itu yang terbaca dariku. Tapi anehnya, aku penasaran dengannya. Tidak pernah aku merasa sepenasaran ini dengan seseorang.
Cowok itu mengenakan jaket. Baju seragam sekolahnya dikeluarkan dan dia tidak mengenakan dasi. Rambutnya berwarna pirang. Tunggu dulu, apa itu benar-benar pirang? Aku mengedip-ngedipkan mataku. Atau karena ruangan ini yang agak gelap, mataku menjadi rabun?
"Apa?" Tanyanya.
"Itu." Aku menunjuk kepalanya dengan tanganku. "Apa itu berwarna pirang?" Lanjutku yang tanpa kusadari telah bertanya.
Dia memegang sebelah kepalanya, kemudian menjawab dengan ketus. " Bukan urusan lo."
Aku merengut. Dan aku tidak mengerti mengapa aku harus merasa kesal karena aku tidak mendapat jawaban atas pertanyaanku. Aku ingin mendapat jawaban atas alasan mengapa dia harus mewarnai rambutnya.
Untunglah Pak Bambang kembali masuk sehingga rasa kesalku hilang. Tapi sekarang berganti dengan rasa was-was. Apa aku bakal di skors? Atau bakal disuruh membersihkan toilet yang baunya minta ampun itu? Aku menggeleng pelan.
"Kamu kenapa?" Tanya Pak Bambang.
"Eh, gak papa pak." Aku menjawab dengan pelan.
"Katanya bosen ngeliat wajah bapak." Satu suara yang tak enak didengar keluar dari bibir cowok itu. Sontak aku melihat ke arahnya.
Aku menggeleng. Kemudian mendelik pada cowok itu. Dari bibirnya, dapat kulihat kalau dia menahan senyum. Ragu-ragu, ku alihkan pandanganku pada Pak Bambang yang ternyata sedang berjalan melangkah mendekati cowok itu.
TAK! Suara kepala dijitak dengan keras disertai keluhan."Aduh."
Dan aku ingin tertawa melihat cowok itu yang menahan sakit. Tapi aku hanya menahannya.
"Saya yang sudah bosan melihat wajah bandelmu itu!" Kata Pak Bambang pada cowok itu.
"Lepas jaket kamu." Perintah pak Bambang pada cowok itu.
Tanpa bertanya cowok itu melepas jaketnya. Kemudian memberikannya pada Pak Bambang yang berdiri tepat di sampingnya.
"Berikan pada dia." Tunjuk Pak Bambang kepadaku.
Aku terkejut dan cowok itu juga sepertinya kaget tapi kemudian dengan cepat memperbaiki mimik wajahnya. Dia melemparkan jaketnya sembarangan sehingga mengenai wajahku.
Pak Bambang hanya menggeleng melihat kelakuan anak muridnya yang satu itu.
"Tadi Saya cari handuk, ternyata tidak ada. Baru ingat kamu punya jaket. Good job." Kata Pak Bambang.
Ternyata Pak Bambang baik juga, Pikirku dalam hati. Rumor yang beredar bahwa pak Bambang itu galak ternyata salah.
Aku dengan cepat memakai jaket berwarna hitam itu, tidak lupa meresletingnya. Aku melirik dari balik mataku pada cowok itu yang ternyata sedang melihatku. Wajahnya terlihat tidak ikhlas.
"Oh ya, kamu boleh pergi. Besok itu rambut sudah harus warna hitam atau bapak cukur botak." Pak Bambang berkata pada cowok itu.
“Iya-iya,” jawab cowok itu dengan malas-malasan. Pak Bambang cuma menggeleng melihat kelakuannya.
Cowok itu kemudian pergi tanpa menengok kembali. Aku melihat punggungnya yang berlalu pergi.
Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di dalam kepalaku.
"Pak, boleh saya tanya? Anak yang keluar tadi namanya siapa ya?" Tanyaku pada Pak Bambang.
"Kamu nggak kenal dia?" Tanya balik Pak Bambang yang sekarang bahasanya lebih sedikit informal.
"Ternyata ada juga yang nggak kenal dia," ucap Pak Bambang tersenyun tipis. Dia berjalan menuju mejanya kemudian merapikan buku-bukunya. "Namanya Haidar, kelas 2 IPA 1. Kenapa?"
"Ma-mau ngembaliin jaket ini nanti Pak." Kataku cepat sambil mengangkat sedikit jaket yang berada di dekapanku.
"Oh ya, tadi nama kamu siapa? Dari kelas apa? Kenapa bisa basah kuyub begitu?" Tanya Pak Bambang bertubi-tubi dengan tatapan mengintimidasi. Sekarang dia sudah duduk di hadapanku dengan siap siaga menginterogasiku.
Aku meneguk ludah. Berharap selamat kali ini. Aku tarik kata-kataku mengenai pak Bambang yang ngga galak. Rumor yang beredar itu benar.
[.]
Bel tanda istirahat pertama berbunyi. Ternyata aku sudah menghabiskan banyak waktu dengan panjang lebar cerita sama pak Bambang mengenai masalahku. Tahu jawaban apa yang kudapat setelah aku menceritakan semuanya.
“Kamu serius?
“Dua rius pak. Bapak kira aku bohong gitu?”
“Bukannya begitu Rene.”
“Rere pak.”
“Bapak nggak bisa percaya sama kamu begitu aja kalau belum ngelihat langsung.” Pak Bambang berkata dengan nada lebih lembut dan informal denganku. Ssepertinya dia sudah akrab denganku.
Aku cuma diam, berkedip sekali, menatap lama mata pak Bambang. Lalu menghela nafas. Rasanya ingin mencukur habis seluruh kumisnya.
“Begini... Pokoknya hari ini sekarang kamu bapak izinin pulang dulu. Besok-besok bawa dua baju barangkali ada yang iseng lagi sama kamu.”
Parah ini Bapak! Aku sudah ngomong jujur tapi nyatanya ngga bisa percaya sama aku. Dimana keadilan di dalam ruang BK ini? Apa aku juga harus nyuap pak Bambang pakai martabak biar mihak aku? kayak satpam depan kompleks rumah biar bukain portal kalau aku pulang kemalaman?
Sebelum aku pergi dari ruangan ini.
[.]
Momentum
Orang bilang jatuh cinta itu mudah. Semudah daun yang jatuh di
musim gugur. Hari itu ketika aku jatuh terpuruk akibat kehilangan orang yang
berharga. Kehilangan kakakku yang aku sayangi. Menyesal tanpa henti. Mengapa
ini harus terjadi padaku. Mengapa harus kakak yang pergi dan bukannya aku.
Kakak pergi karena menyelamatkanku dan akhirnya ia sendirilah yang mengalami
kecelakaan. Sejak saat itu, aku pikir duniaku akan sepi. Juga aku tak patut
untuk dicintai.
Tapi kamu datang, dengan hanya berdiri di sebelah kananku saat
pemakaman di hari itu saat musim panas terjadi. Kamu datang, hanya diam sambil
memegang bahu kananku dengan tangan kirimu. Kamu coba untuk menguatkanku tanpa
kata-kata. Mencoba menyelami perasaanku hanya dengan bahasa tubuh yang kugunakan.
Aku menangis dalam diam. Aku coba untuk berhenti berpikir negatif terus
menerus. Aku masih punya orang tua, dan juga teman-teman.
Kamu juga mungkin seperti aku. Menyesal sama besarnya sepertiku.
Kamu saksi saat itu, begitupula denganku. Aku mencoba menolongmu saat itu. Tapi
kakakku kemudian menolong kita berdua. Kata-kata terakhirnya ditujukannya
padamu. Saat itu, kamu juga sama putus asanya denganku. Juga mengalami rasa
sakit yang sama seperti yang aku rasakan.
Hari berlalu, ketika musim panas berganti menjadi musim gugur.
Ketika musim gugur mengubah daunnya dan mulai menerima hawa sejuk musim dingin.
Setelah dua tahun berlalu, aku dan kamu mulai bersama. Bukan bersama dalam arti
seperti sebelum-sebelumnya. Bersama dalam arti yang lebih luas. Kita duduk
berdua di tepi pantai. Udara sore hari di musim panas benar-benar menyenangkan.
Langit itu menguning dengan cantiknya. Membuat bias cahaya di permukaan laut
yang berkilauan.
“Hinata.”
“Naruto.”
“Ahahaha.”
Aku dan kamu menyebut nama masing-masing bersamaan sehingga membuat
kita tertawa setelahnya. Kata orang, kalau bicara bersamaan itu artinya jodoh.
Entahlah aku mengendikkan bahuku.
“Kenapa?” tanyanya yang sepertinya melihat tingkah lakuku yang
aneh, hasil dari pemikiran absurdku tadi.
Aku menggeleng, kemudian menjawab, “Naruto tadi mau bilang apa?”
Ku lihat dari sudut mataku ia mulai menggaruk belakang kepalanya
dengan sebelah tangan kanannya. Setelah bersamanya selama ini, aku mengetahui
kalau itu adalah kebiasaanya saat gugup menghampirinya atau saat malu ia
rasakan. Aku merasa pipi Naruto memerah sehingga aku bertanya.
“Kenapa? Pipimu merah Naruto,” ujarku padanya.
“Tidak, cahaya matahari sore membuatmu salah lihat.” Katanya sambil
mengalihkan pandangannya ke samping menjauh dari pandanganku.
“Sekarang malah tambah merah.”
Aku menggeleng pelan, enggan bertanya lebih lanjut. Aku menghirup
udara di sekitar dalam-dalam. Kita yang duduk berdua di depan laut yang
membentang luas seolah alam semesta menjadi saksi bisu dalam obrolan
menyenangkan yang aku lakukan denganmu. Aku duduk menekuk lututku, jaketku
kugunakan untuk menutupi bagian tubuh bawahku karena aku menggunakan rok
sebatas lutut saat ini. Sedang jaketmu kamu gunakan untuk menjadi alas tempat
duduk kita. Kita duduk berdua, tanpa jarak yang jauh karena bisa kurasakan
bahumu yang selama beberapa detik bersentuhan dengan bahuku.
“Naruto, aku suka laut. Laut itu biru. Mata Naruto... juga biru.
Dan itu indah.”
Aku berinisiatif untuk memecah keheningan. Aku mengatakannya sambil
memandang ke depan. Walau sebenarnya ingin mengetahui ekspresi macam apa yang
ada di wajahnya namun kuurungkan sementara. Namun saat aku sudah dalam batas
kesabaranku, aku meliriknya dari sudut mataku lamat-lamat. Tetapi akhirnya aku
melihatnya tanpa sabar dan bola mataku membesar sesaat.
Itu sebuah ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ia bukanlah
menatapku. Ia memandang jauh ke depan, pandangannya menerawang ke arah laut,
lebih tepatnya langit yang berada di atas laut, di atas batas cakrawala namun
bibirnya mengulas senyum bahagia yang ia tahan dengan hanya mengangkat sedikit
sudut-sudut bibirnya. Sekali lagi senyum bahagia yang tertahan.
Aku memiringkan kepalaku ke
kiri menghadapnya sehingga surai rambut panjangku yang kugerai jatuh mengikuti
arah gravitasi yang kulakukan. Namun kemudian ia menoleh padaku, mendekatkan
wajahnya kepadaku sehingga aku terkejut dan hampir jatuh ke belakang jika
sebelah tangannya yang kiri itu tidak
menopangku dengan segera.
[.]
Searching Your Smile
Disclaimer :
Naruto© Masashi Kishimoto
Pairing :
Naruto x Hinata
.
.
.
Searching Your Smile Chapter 1
.
Kyoto, 2 tahun
yang lalu.
Hinata
yang polos ingin menyatakan cinta pada seorang laki-laki berambut pirang yang
bernama Naruto. Hinata yang masih mengenakan seragam Sekolah Menengah Pertama
menunggu di depan gerbang sekolah dengan gugup. Dia menautkan jari-jarinya dan
menarik napas panjang. Hinata dapat merasakan bahwa hal ini lebih sulit
dilakukan dari yang dia bayangkan.
Hinata
melirik pada jam tangannya, biasanya jam segini laki-laki itu akan keluar dari
sekolah bersama temannya yang bernama Sai dan Sakura. Meskipun Hinata sekelas
dengan Naruto tetapi setiap hari laki-laki itu pasti akan pulang lebih telat
dari biasanya. Hinata melihat sekeliling sekolah yang tampak sepi. Murid-murid
yang lain telah pulang dengan berjalan kaki ataupun menggunakan bus.
Hinata
biasanya akan pulang bersama Kiba ataupun Shino, temannya yang lain yang satu
kelompok belajar dengannya. Namun karena hari ini adalah hari terakhir sebelum
liburan musim panas maka mereka memutuskan untuk pulang sendiri-sendiri karena
memiliki urusan masing-masing. Kiba beralasan bahwa Akamaru, anjingnya yang
berbulu putih itu sedang mengalami patah hati karena ditolak oleh anjing
tetangganya sehingga dia buru-buru pulang karena khawatir dengan kondisinya.
Sedangkan Shino mengatakan bahwa serangga-serangga sudah waktunya musim kawin.
Hinata beritahu, serangga milik Shino itu jumlahnya ratusan.
Hinata
mendengar suara yang tidak asing di telinganya, diikuti siluet tiga orang yang
berjalan dari dalam gedung sekolah menuju ke arah gerbang sekolah. Tiba-tiba
Hinata semakin gelisah, dia menggigit bibir bagian dalam miliknya untuk
mengurangi rasa gugup. Kemudian tanpa sadar, Hinata bersembunyi di balik
dinding pagar sekolah ketika tiga orang itu semakin dekat menuju ke arahnya.
Setelah ketiga orang itu keluar dari gerbang, mereka berjalan lurus tanpa
melihat Hinata. Mereka asyik dengan percakapan mereka sendiri.
Hinata
yang melihat punggung seseorang yang ditunggunya sedari tadi semakin jauh
merasa panik lalu kemudian berteriak, “Naruto-kun!.” Mungkin ini adalah
teriakan paling keras yang pernah dikeluarkan oleh mulutnya. Naruto berbalik,
melihat pada seorang gadis yang menundukkan kepalanya. Mengisyaratkan pada Sai
dan Sakura yang ikut berbalik memandang ke arah gadis itu untuk pergi
mendahului Naruto. Sai dan Sakura mengangguk lalu pergi.
Naruto
lalu berjalan ke arah gadis itu. Semakin dekat dan berhenti setelah tersisa
tiga langkah dari gadis itu. Naruto belum mellihat wajahnya dikarenakan gadis
itu yang menunduk, tapi Naruto mengenal suaranya. Juga dilihat dari postur
tubuh dan rambutnya, dia sepertinya teman sekelasnya yang bernama Hinata.
“Hinata?” panggil Naruto. Dia mencoba menebak-nebak.
Hinata
yang mendengar Naruto lalu mengangkat wajahnya. Melihat Naruto dari jarak
sedekat ini membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Wajah Hinata memanas,
dalam hatinya dia merasa sangat senang karena Naruto mengingat namanya. Hinata
tidak akan menyalahkan Naruto jika tidak mengingatnya karena Naruto memang
jarang masuk kelas, kalaupun masuk dia akan selalu datang terlambat.
Hinata
mengumpulkan keberaniannya lalu mulai berkata dengan terbata, “Na-naruto-kun.
Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Naruto yang melihat tatapan serius dari
gadis di depannya, dia mengangguk meminta Hinata melanjutkan ucapannya. Hinata
yang tak kunjung berkata membuat Naruto bertanya, “ada apa?” Naruto bertanya
pelan. Melihat Hinata yang walaupun gugup tapi tidak takut padanya membuat
Naruto tersenyum kecil. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa Naruto hampir ditakuti
oleh seluruh murid di sekolahnya ini. Mereka menganggapp Naruto wajib dijauhi
jika berpapasan dengannya. Hal itu dikarenakan Naruto sering terlibat adu
perkelahian di dalam sekolah ataupun di luar. Mereka tidak peduli alasan di
balik penyebab perkelahian itu.
Hinata
yang melihat Naruto tersenyum membuatnya ingin pingsan. Dia kemudian melirik
sekeliling, walaupun sekolahan sudah sepi namun dia akan merasa sangat malu
jika ada yang melihatnya menyatakan cinta saat ini. “Bisakah kita pergi ke
suatu tempat terlebih dahulu?” pinta Hinata padanya. Naruto terlihat bingung
tetapi tetap menyetujuinya. Hinata mengajaknya ke tepi sungai. Cukup jauh
jaraknya dari sekolah.
Hinata
berdiri berhadapan dengan Naruto. Rambut panjangnya bergerak mengikuti angin.
Cahaya senja menerpa wajah Naruto yang berdiri berlawanan arah dengan tenggelamnya
matahari. Sungai yang tenang namun dalam berkilau memantulkan sinar mentari dan
rel kerete yang letaknya tidak jauh dari sini akan menjadi saksi bisu untuknya.
Hinata menarik napas kemudian berteriak sekencang-kencangnya melawan desing
kereta yang bergerak, “Naruto-kun, aku menyukaimu.”
Naruto
terpaku tapi itu hanya sebentar saja karena kata-kata yang kemudian dia ucapkan
adalah, “Sial.” Naruto mendengar suara Hinata, dia mendengarnya tapi tatapannya
menjadi tajam. Bukan pada Hinata, tapi pada sesuatu di belakang Hinata. Belum
sempat Hinata berbalik untuk melihat apa yang menjadi fokus Naruto. Terdengar
sahutan kencang dari arah belakang yang memanggil nama Naruto.
Naruto
menarik pergelangan tangan kiri Hinata tanpa persetujuannya, mengajaknya
berlari melewati tangga kecil yang tersedia di tepi sungai, menuju jalan utama.
Terus berlari sampai di tempat perumahan warga yang terdapat banyak gang.
Kemudian memilih memasuki salah satu gang dan bersembunyi di dekat tong sampah
yang besar. Naruto dan Hinata berjongkok berdekatan, Hinata berada di belakang
Naruto. Entah ini keberuntungan atau kesialan, gang yang mereka masuki termasuk
gang buntu.
“Na-naruto-kun,”
dengan deru napas memburu sehabis berlari Hinata memanggil nama Naruto lirih
ingin menanyakan hal yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi Naruto mengisyaratkan
Hinata dengan telunjuk kirinya di bibir Hinata agar tetap diam, “ssssttt.”
Sedang Naruto mengawasi keadaan. Hinata menurut, meneguk salivanya pelan dan
memilih diam. Sekarang ini, Hinata tidak tahu alasan mengapa jantungnya
berdegup begitu cepat. Apakah karena Naruto atau karena habis berlari atau
karena takut tertangkap oleh orang yang tak dikenalnya tapi mengenal Naruto?
Hinata mengutuk dirinya yang masih sempat-sempatnya menikmati momen ini.
Diam-diam Hinata melirik pada genggaman tangan kanan Naruto padanya tangan
kirinya. Genggaman tangan Naruto terasa kuat dan pasti.
Setelah
memastikan dua orang yang mengejar mereka tadi tidak terlihat kembali. Naruto
bernapas lega dan mengajak Hinata berdiri sehingga membuat genggaman tangan
mereka terlepas. Hinata sedikit terlihat kecewa atas hal ini. Naruto mengamati
keadaan sekitanya dengan berhati-hati, takut-takut orang yang mengejarnya tadi
muncul kapan saja. Naruto jelas mengenal wajah dua orang itu, wajah yang
terakhir kali babak belur setelah dihajar olehnya. Naruto tahu mereka akan
membalas dendam, tapi keadaannya saat ini tidak memungkinkan untuk bertarung.
Keselamatan gadis di sampingnya menjadi prioritasnya.
Naruto
melirik gadis di sampingnya, “Hinata.” Gadis yang dipanggilnya mendongakkan
kepalanya menatap Naruto yang lebih tinggi darinya. “Kalau kau melihat orang
yang mencurigakan yang bertanya tentangku, katakan kau tidak mengenalku atau
tidak tahu apapun tentangku oke?” pinta Naruto. “Juga nantinya, berpura-puralah
tidak mengenalku saat berpapasan denganku di jalan.” Lanjut Naruto. Karena itu
hal rawan bagi Hinata, pikir Naruto dalam hati.
“Eh?”
Hinata terkejut dengan permintaan Naruto. Hinata tidak langsung menjawab atau
mengiyakan tetapi balas menatap Naruto dengan tatapan yang sulit diartikan oleh
laki-laki. Naruto memandang Hinata yang di dalam matanya mengandung kesedihan
dan kekecewaan? Naruto heran, mungkin dia salah mengartikan tatapan Hinata. Dia
tidak pandai membaca tatapan seorang gadis. Dia biasanya bertanya pada Sai,
jika laki-laki berada di dekatnya.
Naruto
menggaruk kepalanya dengan sebelah tangannya, lalu kemudian mengubah tatapan
matanya menjadi serius. “Hinata, dengarkan aku. Ke depannya, jangan terlibat
denganku, mengerti?” pintanya lagi. Tapi bagi Hinata, ucapan Naruto terdengar
seperti penolakan untuknya. Jangan terlibat lagi? Ayolah, kalau begitu dirinya
tidak boleh berada di dekat Naruto? Masa bodoh dengan hal yang terjadi ke
depannya, Hinata hanya ingin berada di dekat Naruto, pikir Hinata dalam hati.
Hinata
ingin menggeleng tapi melihat tatapan Naruto yang menjadi tajam dan mematikan,
membuat Hinata mengangguk, “Aku mengerti,” jawab Hinata. Naruto menghembuskan
lega mendengar jawaban Hinata. “Ayo, aku antar kau pulang,” ajak Naruto pada
Hinata untuk berjalan lagi. “Kau pulang dengan naik bus atau kereta?” tanya
Naruto.
“Kereta,”
kata Hinata lirih yang sekarang menjadi tidak bersemangat. Setelah sampai di
stasiun, Naruto bersikeras untuk mengantarnya sampai di rumah Hinata karena
hari semakin malam. Tapi Hinata menggeleng dan mengucapkan terimakasih.
Lagipula, arah rumah Hinata berlawanan dengan rumah Naruto. Terkadang, Hinata
tidak mengerti isi pikiran Naruto, bukankah tadi laki-laki itu menyuruhnya
untuk menjauh?
Setelah
sampai di rumah, Hinata membuka pintu rumahnya dengan pelan. Sebelum memasuki
kamarnya, dia melihat Hanabi, adik satu-satunya itu berada di dekat pintu
kamarnya. “Bagaimana?” tanya Hanabi. “Apanya?” jawab Hinata tidak mengerti.
“Bagaimana pernyataan cinta kakak?” katanya langsung mengenai sasaran. Ada
kerlingan nakal pada tatapan yang diberikan Hanabi. Hinata terkejut, memicingkan
matanya curiga bagaimana Hanabi tahu soal ini, dia berdehem kemudian
berpura-pura tidak mengerti ucapan Hanabi, lalu memasuki kamarnya yang tidak
dikunci.
Hanabi
yang diabaikan hanya mengendikkan bahunya. Dia melihat pintu kamar yang
tertutup itu lalu berjalan pergi ke kamarnya sendiri. Hanabi memang terlihat
tidak peduli, tapi sebenarnya dia agak khawatir dengan kondisi kakaknya.
Melihat raut wajah kakaknya tadi sepertinya tidak berjalan mulus. Hanabi yang
tanpa diketahui kakaknya itu ternyata sering memasuki kamar Hinata hanya untuk
diam-diam membaca buku harian milik kakaknya sehingga dia tahu persis bagaimana
perasaan Hinata pada laki-laki itu.
Hinata
yang terlentang di kasurnya, memandang langit-langit kamarnya. Kemudian beralih
posisi miring melihat kalender yang terpasang di dinding kamarnya. Selama
liburan musim panas ini, dia tidak akan bisa melihat Naruto dalam waktu yang
lama. Juga karena mereka telah memasuki tahun ketiga maka sebentar lagi mereka
akan lulus. Walaupun Hinata nantinya dapat mengikuti sekolah yang akan dituju
Naruto tetapi kata-kata Naruto barusan masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Juga wajah ayahnya yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya dengan tatapannya
yang tegas membuat Hinata berpikir ulang, karena tentunya ayahnya itu
menginginkan sekolah yang berkelas.
Begitulah cinta pertama Hinata berakhir.
.
.
.
Searching Your Smile Chapter 2
.
.
Jika mencintaimu begitu sulit, aku akan berusaha.
Jika dicintai olehmu membutuhkan waktu, aku akan menunggu.
Berkali-kali
Hinata menyaksikan pemandangan di depannya dengan pandangan datar. Ia terlihat
bosan dan memilih mengambil permen karet kesukaannya yang berada di dalam saku
rok sekolahnya. Dia membuat sebuah gelembung dari permen itu kemudian
meletupkannya sehingga akibat ulahnya benda itu menempel pada bibirnya lalu dia
telan kembali. Untuk beberapa menit ke depan hal itulah yang akan dilakukannya
untuk mengurangi rasa bosannya.
Hinata
sedang berada di dalam kelas. Dari balik jendela kelas, manik matanya memicing
melihat apa yang sedang terjadi. Beruntung
ruang kelasnya tidak dekat dengan pemandangan yang sedang ia lihat. Tapi
dia merasa kalau dirinya sedang mengintip atau menguping atau menguntit atau
apalah itu namanya, yang jelas hal itu tidaklah baik. Hinata tahu itu, rasanya
seperti ikut campur dalam urusan orang. Tapi sekarang hal itulah yang sedang
dia lakukan. Hinata melihat peristiwa yang kata temannya disebut “pertunjukan
seni”. Kalau dipikir-pikir tidak salah memang, seni adalah hasil dari cipta,
karsa dan rasa. Peristiwa yang sedang dilihatnya itu termasuk dalam kategori seni,
seni mencintai.
Apa boleh buat, nasi sudah menjadi
bubur. Begitulah peribahasa yang pernah Hinata dengar di sinetron kesukaannya.
Jangan tanya apa sinetron kesukaan Hinata. Yang jelas bukan berkaitan dengan
bubur atau tukang bubur. Hinata yang tadinya berdiri di dekat jendela kelas kemudian
berbalik dan berjalan ke tengah rungan itu. Dia dudukkan dirinya di atas meja
kelas, kemudian mengayun-ayunkan kakinya yang sesungguhnya hampir menyentuh
lantai. Kali ini ia buang pandangannya ke arah papan tulis. Kemudian di menoleh
ke samping kiri, tempat dia menaruh tasnya.
Dia lihat tas yang tadi dia taruh di
kursi di samping meja yang sedang dia duduki. Ada dua tas, yang satu milik
Hinata dan yang satunya milik seseorang.
Seseorang itu pasti sebentar lagi datang, pikir Hinata. Gadis berambut
panjang itu membalikkan badan ketika dirasa yang ditunggunya telah hadir.
Terdengar dari derap langkah kaki seseorang. Yang pertama kali dia lihat adalah
sepatu orang itu.
“Sudah?” tanya Hinata, memalingkan
wajahnya pada orang itu. Yang ditanya hanya mengendikkan kedua bahunya.
“Terima kasih sudah menjaga tasku,”
jawabnya dengan nada rendah sarat
kelesuan.
Benar,
Hinata hanya disuruh menjaga tas dari cowok berambut pirang itu. Bodoh sekali
dirinya, harusnya ia sudah pulang dari tadi mengingat bel pulang sekolah sudah
berdenting sedari tadi. Tapi ia malah berdiri sendirian seperti penyelundup
atau lebih tepatnya anak hilang sambil melihat adegan tak jelas. Benar, tak
jelas adanya karena Hinata bahkan tidak mendengar percakapan yang mereka
lakukan di kebun belakang sekolah. Bukannya Hinata penasaran, hanya saja... ah
sudahlah. Hinata ingin pulang sekarang.
“ Sebagai gantinya, akan kutraktir
ramen,” kata cowok itu sambil menuruni
anak tangga menuju lantai dasar sekolah. Benar, kelas mereka berada di lantai
dua.
Hinata
memutar bola matanya namun tetap mengangguk. Sudah seharusnya Hinata mengetahui
kalau tidak ada kata selain “Ramen” yang akan terlintas di otak pemuda itu jika
menyangkut membalas budi seseorang. Sebenarnya Hinata ingin menolak, tapi tidak
sopan rasanya mengingat Hinata diajarkan menghargai seseorang. Tiba-tiba Hinata
penasaran dengan sesuatu.
“Ada
apa dengan pipimu itu?” tanya Hinata yang berjalan di samping kanan Naruto,
nama cowok itu. Hinata melihat pipi cowok itu yang merah.
Kali
ini giliran Naruto yang memutar bola matanya. “Kau seperti tidak tahu saja,”
katanya dengan malas.
Oh
Hinata tahu! Mungkin itu yang temannya sebut ‘korban kekerasan’.
“Sabtu nanti, bagaimana?” ajak
Naruto yang sepertinya memilih mengganti topik pembicaraan.
“No problem. But damn, why only the
word ramen in your mind every day?”
“Jangan menggunakan Bahasa Alien,
aku tidak mengerti.” Ujar Naruto dengan raut wajah kesal.
Hinata
memang sengaja berbicara dengan cepat agar Naruto tidak perlu menanyakan hal
ini pada orang lain. Pernah sekali dua kali dirinya berbicara menggunakan
Bahasa Inggris dan Naruto mencatat apapun yang ia dengar dan kemudian
menanyakannya pada orang lain dan itu membuat orang lain yang ia tanyai bingung
karena tidak sesuai.
Alasannya
sederhana, penasaran. Mungkin itu juga salahnya karena tidak menjawab jika
Naruto bertanya artinya. Bagaimana
Hinata akan menjawab, kalau kebanyakan yang ia ucapkan berupa umpatan saat ia
berbicara bahasa itu. Bagaimana jika Naruto menanyakannya pada guru maka ia
akan terkena masalah. Itulah sebabnya Hinata tidak memberitahukan Naruto dan
itu membuat Naruto kesal.
“Apa maksudmu Bahasa Alien?!” gerutu
Hinata dengan bibir mengerucut.
“Yang ada, kaulah Aliennya.” Lanjut
Hinata.
“Tidak lucu, Hinata.” Kata Naruto
tepat setelah mereka melewati gerbang depan sekolah.
Tapi,
tetap saja, Hinata adalah Hinata, ia akan protes jika mata pelajaran
kesukaannya dihina oleh orang lain. Sedangkan Naruto, hanya karena ia tidak
menyukai pelajaran itu atau sesuatu yang tidak ia sukai, ia akan menghabiskan
dirinya untuk berbicara sepanjang waktu sampai teman debatnya lebih memilih
mengalah karena lelah berbicara dengan Naruto. Dan hari itu Hinata habiskan
dengan berdebat dengan Naruto sepanjang jalan.
Ooo
Di
suatu sore di hari sabtu, Hinata menemukan Naruto sudah berdiri di depan
rumahnya. Hinata melihat penampilan
Naruto dari atas ke bawah, Naruto hanya mengenakan pakaian yang sederhana,
celana jins panjang dengan kaos lengan pendek yang dilapisi jaket baseball.
Tapi
anehnya ia terlihat gugup, tangan kirinya menggaruk belakang kepalanya
sedangkan yang satunya membawa bola basket. Tapi tunggu, apa maksudnya dengan
membawa bola itu? Walaupun Hinata penasaran tapi ia mengurungkan diri bertanya.
“Ayo,
pergi.” Ucap Hinata sambil memulai langkahnya.
“Tunggu,
kau pergi dengan pakaian seperti itu?” Naruto bertanya dengan gestur khawatir.
“Apa
maksudmu dengan pakaian seperti itu?” Hinata berhenti kemudian berbalik badan
untuk menjawab.
Hinata
melihat dirinya sendiri. Hari ini ia mengenakan celana pendek dan kaos pendek
yang dilapisi dengan sweaternya. Dan juga rambutnya yang biasanya ia gerai
dirinya kuncir kemudian di tambah topi. Mirip gadis pengambil bola golf sebenarnya.
Apa itu namanya.. cad.. cat.. cet.. entahlah. Hinata menggendikkan bahunya,
menyerah pada pikirannya. Apa yang salah dengan berpakaian seperti ini? Ini
sederhana, dan cukup untuk tidak membuatnya kerepotan. Apa Naruto mengharapkan
yang lain?
“Ini
hanya makan ramen.” Kata Hinata pada Naruto.
“Benar
juga. Hanya makan ramen,” Ucap Naruto menekankan pada kata ‘hanya’, meninggalkan
Hinata dalam kebingungan di belakangnya dan berlalu pergi.
Hinata
tidak tahu mengapa Naruto terlihat kecewa atau mungkin dirinya salah lihat.
Tapi sepertinya tidak, dia memang terlihat kecewa. Selama perjalanan sampai di
Kedai Ramen langganannya ia sama sekali tidak kelihatan ingin berbicara. Bahkan
setelah memakan ramen dia masih menutup mulutnya. Sampai ketika perjalanan
pulang, setelah Hinata melewati sebuah lapangan umum di pinggir jalan, Naruto
meminta berhenti dan disinilah Hinata, duduk di sebuah bangku panjang berbahan
dasar besi.
“Jadi,
ini alasan mengapa kau membawa bola itu?” tanya Hinata sambil menunjuk ke arah
Naruto.
“Hmm.”
Naruto bergumam sambil mendribble bola.
“Mau
bermain?” tawarnya kemudian.
Hinata
menggeleng. Bukannya Naruto mengetahui Hinata bad skill mengenai sesuatu
yang berhubungan dengan olahraga? Mengapa mengejar sesuatu yang jawabannya
sudah pasti tidak? Ataukah Naruto lupa? Benar, mungkin pertanyaan terakhir
lebih masuk akal. Naruto buruk dalam mengingat suatu hal. Lebih dari itu, ada
hal penting yang ingin Hinata tanyakan.
Hinata
melihat Naruto masih mendribble bola, sesekali melakukan jump shot pada
bolanya. Hinata memicingkan mata, melihat peluh yang bertetesan pada wajah dan
dahinya. Yang Hinata pikirkan sekarang adalah mengapa Naruto tidak sakit perut
setelah makan Ramen jumbo super pedas dan setelahnya berlari-lari seperti ini. Ada
yang pernah berkata, Orang bodoh kebal terhadap penyakit. Naruto berhenti
setelah melakukan shot pada bolanya, nafasnya masih terlihat memburu.
“Kenapa kau tinggi sekali?” tanya
Hinata. Inilah hal penting yang Hinata maksud tadi .
“Aku rajin olahraga, tidak seperti kau.” Tunjuk
Naruto pada Hinata, lalu tertawa geli melihat wajah gadis itu merengut.
“Kau ingin tahu, hal lain yang
membuat cepat tinggi?” Naruto bertanya balik.
Hinata
mengangguk antusias. Apalagi tidak seperti biasanya Naruto memberi saran,
biasanya Naruto hanya akan menjawab dengan candaan yang membuatnya kesal.
Mengenai hal ini, Hinata hanya penasaran mengapa anak laki-laki bisa tumbuh
begitu tinggi. Hinata mulai melihat, Naruto berjalan ke arahnya.
“ Pertama, minum susu setiap hari...
atau...”
“Atau?” Hinta mengikuti perkataan
Naruto sambil menatap mata Naruto. Dapat dia lihat Naruto yang sudah berjarak
bergitu dekat dengannya.
“Kau bisa menikah denganku,” ujar
Naruto tepat setelah dia mensejajarkan wajahnya pada Hinata yang duduk di
bangku panjang yang berada disitu.
“Uhuk—“ Hinata terkejut hingga
terbatuk, entahlah rasanya seperti ada sesuatu yang tersangkut di
tenggorokannya.
“Kau mau membunuhku ya?”
Naruto hanya tersenyum.
“Apa hubungannya menikah dengan
tumbuh tinggi?” tanya Hinata.
“Apa kau habis jatuh dari pohon?”
tanya balik Naruto yang berpikir apakah Hinata sedang pura-pura tidak tahu.
“Hah?”
“karena kau mendadak menjadi bodoh.”
Naruto menjawab sambil menekankan kata terakhir yang diucapkannya.
“Apa maksudmu?” tanya Hinata tidak
terima dengan kata-kata yang diucapkan Naruto.
“Kau tahu maksudku.”
“Mengapa murid yang punya nilai
sains tertinggi mendadak tidak tahu mengenai hal itu? Apa kau habis jatuh dan
mendadak gegar otak?”
Hinata memandang Naruto jengkel.
Hinata memperhatikan Naruto dengan
seksama. Dia melihat mulut Naruto yang sedang bergumam seperti ingin mengatakan
sesuatu.
“Setidaknya anak kita bisa tumbuh
tinggi,” gumam Naruto lirih.
Tik.tok. tik.tok. satu detik, dua
detik, tiga detik. Butuh waktu untuk memproses gumaman lirih Naruto yang ia
dengar. Sampai kemudian dia mengerti, dirinya terkejut.
“Hah?”
Hinata memandang Naruto dengan
bingung. Berfikir mungkin saja telinganya salah mendengar. Tapi yang jelas,
jika ini merupakan candaan dari Naruto maka ini benar-benar tidaklah lucu.
[.]
Dalam
perjalanan pulang, kaki-kaki mereka berjalan lebih lambat dari biasanya.
Semburat senja telah pergi bersamaan dengan dihidupkannya lampu-lampu di
pinggir jalan. Naruto melirik Hinata yang berjalan bersisian dengannya. Wajah
Hinata nampak tanpa ekspresi di lensa matanya. Sorot matanya tajam menatap ke
depan namun sendu disaat bersamaan. Di saat malam seperti ini, dirinya dapat
menemukan sosok Hinata yang terkesan lebih penurut dan lebih tenang. Tidak ada
celotehan atau ejekan. Hanya ada Hinata yang seperti menjelma menjadi sosok
yang lain.
Satu hal yang
disesalkan Naruto dari Hinata adalah gadis itu yang tak pernah lagi tersenyum
dengan mudah. Senyum yang muncul darinya adalah senyum kecil yang menghilang
tanpa bertahan lama. Kemungkinan Hinata hanya akan menarik sudut bibirnya ke
atas dalam beberapa detik saja. Apalagi tawa yang muncul. Tawanya adalah
sesuatu yang langka. Tapi langka bukan berarti tidak ada. Naruto akan berusaha
untuk mewujudkannya.
“Hei, Naruto.” Lamunan
Naruto buyar tatkala Hinata memanggilnya, membuatnya seketika berhenti dari
jalannya.
“Di depan ada
tiang listrik.” Seketika Naruto melihat lurus ke depan. Entah bagaimana dirinya
berada kurang lebih dua puluh centimeter dari tiang listrik tersebut. Ia
menggeser tubuhnya ke jalanan yang lebih
lebar.
“Seharusnya aku
tidak memberitahumu, pasti akan terlihat lucu.” Naruto melihat sekeliling yang
sepi, hanya ada satu atau dua orang yang lewat di jalan ini. Mungkin bisa
dibilang malam ini dirinya beruntung.
“Hinataaaa,”
Naruto pura-pura merengek dan Hinata tersenyum kecil karenanya. Naruto yang
melihatnya juga ikut tersenyum. Naruto yang masih di tempat membuatnya
tertinggal dari Hinata yang sudah melangkah. Dari belakang, Naruto dapat
melihat punggungnya yang tertutupi surai panjangnya.
Naruto
berpikir, jika Hinata dapat tersenyum berkali-kali hanya karena hal sepele maka
sepertinya dirinya rela jika harus berkali-kali menabrakkan diri ke tiang
listrik. Tapi sebelumnya izinkan dirinya pergi ke kuil terlebih dahulu untuk
berdoa meminta tambahan nyawa.
“Naruto, apa
yang kau tunggu,” Kata Hinata yang melihat ke belakang. Dia berhenti dari
jalannya karena menunggu pemuda itu yang lagi-lagi terlihat seperti melamunkan
sesuatu. Naruto yang berjalan di sisi kirinya tertinggal jauh di belakang.
Naruto
menggeleng lalu berlari kecil untuk menyusul Hinata dan kembali berjalan
bersama. Hinata mungkin tidak tahu, tapi saat berjalan bersisian dengannya
adalah salah satu momen menyenangkan dalam hidup Naruto.
“Ne, Hinata.
Bukankah bulannya indah?” Naruto menunjuk ke arah langit. Naruto yang kali ini
bertanya membuat Hinata berhenti berjalan dan ikut memandang ke arah yang
ditunjuk Naruto. Memandanng pada bulan yang malam ini berbagi sinarnya.
“Apa menurutmu bulan
itu indah Naruto?” tanya balik Hinata padanya.
“Benar, indah.”
Naruto menjawab dengan lirih. Lensanya terpaku pada wajah Hinata yang sedang
melihat ke arah langit. Sinar rembulan itu seolah memantul ke wajah Hinata atau
mungkin ini salah satu delusi Naruto yang sudah mencapai tahap akhir.
“Aku pikir,
bulan itu menyedihkan.” Hinata berkata masih memandang ke arah bulan. Kedua
tangannya dia satukan dalam satu genggaman tangan. Naruto yang mendengar
kalimat yang dilontarkan Hinata seketika membuatnya menajamkan matanya pada
gadis itu.
“Mengapa?”
tanya Naruto. Ia heran dengan pemikiran Hinata. Hinata seringkali berkata
sesuatu yang tak dapat ia pahami. Namun Hinata yang terlalu larut dalam
perasaan sedihnya, Naruto tahu ia tak akan suka hal itu terjadi.
“Bukankah bulan
selalu bergantung pada matahari? Dia bersinar terang bukan karena dia memiliki
cahayanya sendiri. Dia tidaklah seindah yang orang pikirkan.” Hinata melirik
ujung matanya pada Naruto dan tertegun melihat Naruto yang berubah menjadi
serius.
“Aku heran jika
itu memang benar Hinata. Tapi apa gunanya matahari jika tidak ada bulan?
Bintang memang mempunyai cahayanya sendiri tapi dia begitu jauh. Harus kepada
siapa matahari membagi sinarnya ketika malam tiba? Apa salahnya bergantung pada
seseorang yang selalu ada? ” Naruto berujar sambil menatap dalam mata Hinata.
Lalu dirinya tersenyum pada Hinata.
Hinata merasa
aneh melihat Naruto yang terlihat serius hanya disaat seperti ini. kata hatinya
seolah Naruto mengatakan ‘Harus kepada siapa Naruto membagi perasaannya
jikalau Hinata tidak ada?’
“Lagipula
menurutku kalau bulan itu indah ya indah. Kalau bulan cantik ya cantik. Tidak
peduli pendapat orang lain.” Naruto melanjutkan jawabannya yang tedengar tegas
namun sederhana disaat bersamaan.
Lagi-lagi
kalimat Naruto terdengar seolah mengatakan ‘Kalau Hinata cantik ya cantik.
Tidak peduli pendapat orang lain.’ Hinata menepuk kedua pipinya
berkali-kali menggunakan tangannya. Sepertinya dia mengalami Halusinasi
pendengaran tingkat tinggi. Dia harus pergi berobat besok pagi.
“Tapi tunggu,
kenapa membahas bulan sampai sebegini jauhnya?” tanya Naruto yang kembali dalam
mode normal.
“Bukannya
Naruto yang memulainya?” balas Hinata pada Naruto. Hinata menggeleng pelan, heran jika Naruto
memang seperti itu.
“Itu memang
benar, tapi...” Naruto mecoba mengingat-ingat awal mula percakapan mereka tadi.
“Bukankah ini
berarti malam ini malam bulan purnama?” tanya Hinata. Naruto mengangguk sebagai
jawaban. Kenapa Naruto merasa Hinata sedang mengalihkan pembicaraan? Tapi kata
hati Naruto tiba-tiba
“Aku penasaran
jika vampire dan serigala akan berburu makanannya malam ini?”
“Eh?” Naruto
menggaruk lehernya yang tidak gatal. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Dia
melihat sekelilingnya yang sepi. Kemudian melihat Hinata yang sudah berjalan
jauh di depannya dan berteriak, “Hinata tunggu.”
Naruto berharap
dirinya dapat tidur malam ini tanpa bermimpi buruk.
[.]
Bel Istirahat
telah berbunyi. Hinata melihat bangku sebelahnya telah kosong. Pemiliknya yang
duduk di dekat jendela itu telah pergi entah kemana. Hinata mengeluarkan
sekotak makanan, ikut beranjak pergi dari ruang kelasnya. Hinata menggerakan
matanya ke segala penjuru dan menemukan orang yang dicarinya sedang berdiri
sendirian memandangi sesuatu.
“Aku mencarimu.
Ternyata kau disini.” Hinata berkata setelah berdiri bersisian dengan Naruto
yang sedang melihat sebuah poster yang tertempel di papan pengumuman. Posisi
mereka yang berdiri terlalu dekat membuat bahu Naruto dan Hinata hampir
bersentuhan.
“Festival
Tanabata?” tanya Hinata setelah membaca isi poster tersebut.
“Benar. Kau mau ikut?” Naruto menjawab dengan tanpa mengalihkan
mata birunya dari poster tersebut. Hinata bahkan penasaran apa yang menarik
dari poster tersebut. Kalau dilihat, itu hanya sebuah poster biasa.
Hinata yang tidak kunjung menjawab membuat Naruto mengalihkan
pandangannya ke arah samping kirinya. Naruto menemukan Hinata yang berlagak
berpikir dengan menggunakan ujung jari telunjuknya yang dia letakkan di
dagunya.
“Sepertinya tidak bisa.” Hinata berkata sambil menggelengkan
kepalanya. Membuat Naruto penasaran akan alasannya.
“Kenapa?”
tanya Naruto penasaran. Naruto meyakinkan dirinya ini hanya rasa penasarannya atau
rasa ingin tahunya saja. Bukannya ia ingin ikut campur dalam masalah Hinata.
“Aku ada urusan,” jawab Hinata
cepat.
“Urusan
apa?” tanya Naruto bertanya lagi. Naruto menjadi heran urusan seperti apa yang
membuat Hinata terlihat begitu sibuk.
“Sejak kapan kau banyak bertanya Naruto?” balas Hinata. Hinata
bukannya tidak ingin memberitahu. Tapi terkadang, ada hal yang sebaiknya tidak
kau beri tahu pada orang lain. Menjadi orang yag terlalu jujur juga kadang
membawa masalah.
“Benar, bukan urusanku juga,” Naruto
berkata lirih kemudian pergi dari tempat itu meninggalkan Hinata.
“Eh tunggu! Aku ingin mengajakmu makan siang.“ Hinata berujar
melihat Naruto yang sudah berjalan pergi. Hinata heran apa yang salah dengan
kata-katanya. Akhir-akhir ini Naruto sering merengut atau Naruto sedang pms? Ah
tidak mungkin. Naruto kan laki-laki? Kecuali jika ia melakukan operasi
transgender tanpa sepengetahuannya.
[.]
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Orang bilang jatuh cinta itu mudah. Semudah daun yang jatuh di musim gugur. Hari itu ketika aku jatuh terpuruk akibat kehilangan orang y...
-
Rain Drop . . Di hari ini ketika hujan turun, aku melangkah keluar rumah. Di jalan yang biasa kulewati, aku melihat sosokmu dari b...