Kamis, 18 Oktober 2018

Amnesia


 Story written by : Karizzta
Disclaimer : Hiro Mashima
.
.

Gray duduk di depan halte bus dengan mata menerawang ke depan. Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit tak kunjung beranjak. Kantong plastik yang dia taruh di dekatnya  enggan ia buka. Es krim yang dia beli di toko supermarket dekat halte pasti sudah mencair.

Gray tadi merasa lapar sehingga ia akhirnya beranjak dari kamarnya yang nyaman. Niatnya memakan es krim sambil menunggu bus datang. Tapi bus yang datang lima menit yang lalu tak ia hiraukan. Pikirannya menerawang jauh.
Entah kenapa, akhir-akhir ini Gray merasa tengah mencari-cari sesuatu. Lebih tepatnya sesuatu yang hilang. Tapi apa? Apakah itu sebuah benda atau seseorang?

Gray memandang langit yang sore ini mendung. Awan terlihat berarak dengan cepat, saling berkejaran kemudian berkumpul untuk sepakat memilih tempat paling tepat untuk menurunkan hujan.

Hujan, pikir Gray dalam hati. Hujan sepertinya tak asing baginya. Bukan, bukan karena hujan itu bagian dari musim yang memang selalu ada. Tapi Gray merasa ada sesuatu mengenai dirinya yang berkaitan dengan hujan.

Hujan itu... seperti identik dengan seseorang. Tunggu... seseorang? Tapi siapa? Gray tidaklah ingat. Semakin lama ia mencoba mengingat, maka rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Gray menggelengkan kepalanya pelan. Angin yang menghembuskan hawa dingin ini sepertinya mulai mengacaukan pikirannya. Benar, gara-gara angin inilah. Gray hanya akan menyalahkan angin ini untuk saat ini.
~000~
Gray mengeratkan tali sepatunya dengan cepat. Gray melirik jam di tangannya dan mendengus. Gray harus memilih berlari untuk sampai ke halte atau dia akan terlambat datang ke sekolah. Setelah sampai di halte, Gray melihat bus yang baru saja berhenti kemudian mulai menaikinya.

Gray menghembuskan nafas lega setelah berhasil sampai di depan kelasnya. Niatnya akan memasukinya sebelum sebuah suara tak asing ia dengar.
“Hai, Gray... lama tidak berjumpa. Kau masih hidup rupanya?”

Gray menengokkan kepalanya kemudian mendecih. Satu-satunya makhluk yang tak ingin dia temui sekarang malah datang tak diundang. Baru saja ia ingin menanggapi, manik mata biru gelapnya menangkap seseorang yang berada di samping Leon. Lebih tepatnya di dekap oleh temannya itu.
Siapa? Pikir Gray dalam hati. Kenapa wajahnya tidak asing?

“Haloo, Gray Fullbuster yang mesum. Bagaimana pacar baruku? Cantikkan?” katanya dengan mengeratkan pelukannya pada lengan gadis itu.
“Tidak juga,” balas Gray dengan mengalihkan wajahnya.

Ini aneh, biasanya dirinya akan kesal mendengar candaan Leon, tapi sekarang yang Gray  inginkan hanyalah memandang manik mata gadis yang berada di depannya. Gadis yang memandangnya dengan cara yang tak biasa. Seperti ada sesuatu yang ingin di sampaikan gadis itu kepadanya.
Sebelum sempat menanyakannya, bel tanda masuk telah berbunyi.

“Yo, Gray, Aku harap kau baik-baik saja, ” Katanya sebelum pergi dari hadapannya. Sedang gadis itu hanya membungkuk sedikit dengan sopan, tanda dia akan pergi.

Gray memandang mereka berdua. Melihat mereka yang berjalan beriringan. Gray melihat punggung gadis berambut pendek itu. Tangan gadis itu tak lagi 
bergenggaman dengan Leon.

Gray membalikkan punggungnya dan memasuki kelas. Ada Natsu, sahabat bodohnya itu yang melambaikan tangan kepadanya seperti orang gila. Juga Lucy yang sibuk membaca buku bersama Levy. Gray hanya bisa tersenyum tipis. Tipis sekali hingga tak terlihat.
 [.]


Secret !


Summary: 

Tentang Rina Maharani.
Ketua kelas yang cuek tapi penyayang. Manis di depan guru, tapi galak sama teman sekelasnya. Diam-diam Rina naksir sama ketua kelas di kelas sebelahnya, Aldi namanya. Anaknya ganteng, suka menolong dan rajin ibadah.
Rina sudah kelas 3 SMA. Kalau ditanya cita-citanya? Rina bakal jawab jadi Astronot dengan ngawurnya.
Suatu ketika, ada rumor yang beredar kalau Aldi itu suka merokok dan pasang tatto. Rini nggak percaya . Sejak saat itu, Rina mulai menemukan tujuan hidupnya yang baru.
Menemukan Rahasia Terbesar Aldi. Titik.

Haidar

Story written by Karizzta
Part 1-Haidar

Orang bilang.. masa SMA adalah masa-masa yang indah. Masa dimana kamu akan menjadi dewasa. Masa dimana kamu tidak akan pernah lupa. Karena itulah aku berharap aku akan mempunyai harapan baru dan tidak akan pernah lupa. Karena itulah yang kupikirkan ketika aku menginjakkan kaki ke sekolah ini. Tapi harapan itu sirna seketika.

BYUUR!

Saat sebuah air jatuh membasahi tubuhku ketika aku sedang berjalan di tepian koridor sekolah menuju kelasku. Aku dengan segera menengok ke atas. Tepat dilantai tiga itu aku melihat siluet dua orang yang dengan cepat berbalik menyembunyikan tubuh mereka.

Masih pagi. Dan aku sudah diberi hadiah oleh orang yang tak kuketahui. Oh mungkin saja aku tahu! pastinya kalau saja bisa melihat wajah mereka.

Aku melihat tubuhku yang basah kuyub. Semuanya basah. Dari rambutku yang kukuncir satu, airnya menetes pelan turun dari atas kepala, melewati pipi dan dagu kemudian jatuh ke bahu. Aku bertanya-tanya berapa banyak air di ember yang mereka guyur ke badanku.

Aku melihat badanku yang basah. Untung saja aku memakai kaos pendek berwarna hitam sebagai baju dalaman, kalau tidak aku pikir aku bakal malu setengah hidup.
Bel kemudian berbunyi. Tanda masuk sekolah. Benar ini masih pagi dan aku sudah mandi dua kali. Tiba-tiba saja aku mendapat ide. Aku masih punya baju olahraga di lokerku.

Aku menuju tempat loker. Tempatnya agak terpisah dari kelas. Aku melihat koridor yang telah sepi. Murid-murid telah memasuki kelas. Dan aku sekarang tersadar kalau aku mungkin harus membolos jam pelajaran pertama.

Ku buka lokerku pelan-pelan. Dan betapa kagetnya ketika aku melihat beberapa kecoa berurutan turun dengan langkah hati-hati agar tidak terpeleset dari loker yang berbahan dasar besi. Oh Tuhan.. lebih kaget lagi ketika aku mencoba melihat ke dalam loker dimana disitu terdapat baju olahragaku yang telah terdapat beberapa butir telur atau feses dari sang kecoa yang sepertinya telah menginap dengan damai semalaman di lokerku yang nyaman.

Sudah cukup! Kataku dalam hati.
Aku membanting pintu loker tanpa menguncinya kembali. Namun setelah beberapa langkah berjalan, kemudian aku sadar, bagaimana jika ada yang menaruh kecoa lagi atau mungkin hewan yang lebih mengerikan dari kecoa.

Kemudian aku berbalik untuk mengunci lokerku kembali. Kali ini aku benar-benar mempunyai ide.
Aku melangkahkan kakiku dengan cepat ke arah ruang BK. Masa bodoh dengan aku yang belum pernah melangkah masuk ruangan itu. Atau masa bodoh dengan rumor yang mengatakan ruang BK itu menyeramkan.

Tok. Tok. Tok.
Aku mengetuk pintu ruangan BK. Ruangnya dekat dengan ruang guru. Hanya saja ruang BK hampir seperti ruang kepala sekolah yang di dalamnya terdapat sekat-sekat dan pintunya di dalamnya di lapisi kaca.

Sebelum pintu terbuka, aku menyempatkan diri untuk membuka tas selempangku. Berharap di dalamnya masih ada beberapa buku yang dapat selamat. Saat aku akan menarik resleting tasku untuk membukanya tiba-tiba pintu terbuka. 

Ditengah-tengah pintu itu ada guru BK yang terkenal seantero sekolah. Itu Pak Bambang, guru BK berkumis panjang yang katanya garang. Kenapa aku tahu? Karena saat masa MOS sekolah, dia selalu nangkring di depan gerbang. Mampus! Kenapa dari semua guru, harus dia yang jaga pada hari ini? Oh My God.

"Maaf pak, tidak jadi." Aku berkata saat Pak Bambang dengan matanya yang tajam melihatku. Baru saja aku akan berbalik pergi dari hadapannya. Pak Bambang memanggilku.
"Eh tunggu dulu? Kamu kenapa basah begitu?"
Aku berbalik dan tersenyum manis. Senyum manis memelas. Belum aku mengeluarkan kata-kata, Bapak berkumis itu telah menyelanya terlebih dahulu.
"Nama kamu siapa?"
"Rere pak."
"Sini kamu," Katanya menyuruhku masuk ke dalam ruangan.
[.]

Hal pertama yang aku sadari adalah aku berada di dalam situasi yang tidak menguntungkan. Aku tidak tahu mengapa aku dapat berada dalam situasi yang awkward seperti ini. Setelah disuruh masuk ke ruang BK oleh Pak Bambang. Dia tidaklah langsung menanyaiku. Dia malah pergi dan sekarang aku hanya berdua bersama dengan cowok yang tidak kukenal. Duduk berdua di sofa melingkar yang disediakan di ruang ini. Tidak peduli sofa itu basah. Mimpi apa aku tadi semalam? Aku mencoba mengingat-ingat.

"Ck."
Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara aneh. Kupikir tadinya suara cicak. Namun ternyata suara itu dibuat oleh makhluk yang berada di depanku.
Aku melirik ke arahnya. Dan dia langsung menatapku tajam.  Tatapannya lebih tajam dari Pak Bambang. Tatapannya seolah-olah mengatakan apa lihat-lihat. Itu yang terbaca dariku. Tapi anehnya, aku penasaran dengannya. Tidak pernah aku merasa sepenasaran ini dengan seseorang.
Cowok itu mengenakan jaket. Baju seragam sekolahnya dikeluarkan dan dia tidak mengenakan dasi. Rambutnya berwarna pirang. Tunggu dulu, apa itu benar-benar pirang? Aku mengedip-ngedipkan mataku. Atau karena ruangan ini yang agak gelap, mataku menjadi rabun?

"Apa?" Tanyanya.
"Itu." Aku menunjuk kepalanya dengan tanganku. "Apa itu berwarna pirang?" Lanjutku yang tanpa kusadari telah bertanya.

Dia memegang sebelah kepalanya, kemudian menjawab dengan ketus. " Bukan urusan lo."
Aku merengut. Dan aku tidak mengerti mengapa aku harus merasa kesal karena aku tidak mendapat jawaban atas pertanyaanku. Aku ingin mendapat jawaban atas alasan mengapa dia harus mewarnai rambutnya.

Untunglah Pak Bambang kembali masuk sehingga rasa kesalku hilang. Tapi sekarang berganti dengan rasa was-was. Apa aku bakal di skors? Atau  bakal disuruh membersihkan toilet yang baunya minta ampun itu? Aku menggeleng pelan.
"Kamu kenapa?" Tanya Pak Bambang.
"Eh, gak papa pak." Aku menjawab dengan pelan.
"Katanya bosen ngeliat wajah bapak." Satu suara yang tak enak didengar keluar dari bibir cowok itu. Sontak aku melihat ke arahnya.

Aku menggeleng. Kemudian mendelik pada cowok itu. Dari bibirnya, dapat kulihat kalau dia menahan senyum. Ragu-ragu, ku alihkan pandanganku pada Pak Bambang yang ternyata sedang berjalan melangkah mendekati cowok itu.

TAK! Suara kepala dijitak dengan keras disertai keluhan."Aduh."
Dan aku ingin tertawa melihat cowok itu yang menahan sakit. Tapi aku hanya menahannya.
"Saya yang sudah bosan melihat wajah bandelmu itu!" Kata Pak Bambang pada cowok itu.
"Lepas jaket kamu." Perintah pak Bambang pada cowok itu.
Tanpa bertanya cowok itu melepas jaketnya. Kemudian memberikannya pada Pak Bambang yang berdiri tepat di sampingnya.

"Berikan pada dia." Tunjuk Pak Bambang kepadaku.
Aku terkejut dan cowok itu juga sepertinya kaget tapi kemudian dengan cepat memperbaiki mimik wajahnya. Dia melemparkan jaketnya sembarangan sehingga mengenai wajahku.
Pak Bambang hanya menggeleng melihat kelakuan anak muridnya yang satu itu. 
"Tadi Saya cari handuk, ternyata tidak ada. Baru ingat kamu punya jaket. Good job." Kata Pak Bambang.

Ternyata Pak Bambang baik juga, Pikirku dalam hati. Rumor yang beredar bahwa pak Bambang itu galak ternyata salah.

Aku dengan cepat memakai jaket berwarna hitam itu, tidak lupa meresletingnya. Aku melirik dari balik mataku pada cowok itu yang ternyata sedang melihatku. Wajahnya terlihat tidak ikhlas.
"Oh ya, kamu boleh pergi. Besok itu rambut sudah harus warna hitam atau bapak cukur botak." Pak Bambang berkata pada cowok itu.
“Iya-iya,” jawab cowok itu dengan malas-malasan. Pak Bambang cuma menggeleng melihat kelakuannya.

Cowok itu kemudian pergi tanpa menengok kembali. Aku melihat punggungnya yang berlalu pergi.
Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di dalam kepalaku.
"Pak, boleh saya tanya? Anak yang keluar tadi namanya siapa ya?" Tanyaku pada Pak Bambang.
"Kamu nggak kenal dia?" Tanya balik Pak Bambang yang sekarang bahasanya lebih sedikit informal.
"Ternyata ada juga yang nggak kenal dia," ucap Pak Bambang tersenyun tipis. Dia berjalan menuju mejanya kemudian merapikan buku-bukunya. "Namanya Haidar, kelas 2 IPA 1. Kenapa?"

"Ma-mau ngembaliin jaket ini nanti Pak." Kataku cepat sambil mengangkat sedikit jaket yang berada di dekapanku.
"Oh ya, tadi nama kamu siapa? Dari kelas apa? Kenapa bisa basah kuyub begitu?" Tanya Pak Bambang bertubi-tubi dengan tatapan mengintimidasi. Sekarang dia sudah duduk di hadapanku dengan siap siaga menginterogasiku.

Aku meneguk ludah. Berharap selamat kali ini. Aku tarik kata-kataku mengenai pak Bambang yang ngga galak. Rumor yang beredar itu benar.
[.]

Bel tanda istirahat pertama berbunyi. Ternyata aku sudah menghabiskan banyak waktu dengan panjang lebar cerita sama pak Bambang mengenai masalahku. Tahu jawaban apa yang kudapat setelah aku menceritakan semuanya.

“Kamu serius?
“Dua rius pak. Bapak kira aku bohong gitu?”
“Bukannya begitu Rene.”
“Rere pak.”

“Bapak nggak bisa percaya sama kamu begitu aja kalau belum ngelihat langsung.” Pak Bambang berkata  dengan nada lebih lembut dan informal denganku. Ssepertinya dia sudah akrab denganku.
Aku cuma diam, berkedip sekali, menatap lama mata pak Bambang. Lalu menghela nafas. Rasanya ingin mencukur habis seluruh kumisnya.

“Begini... Pokoknya hari ini sekarang kamu bapak izinin pulang dulu. Besok-besok bawa dua baju barangkali ada yang iseng lagi sama kamu.”

Parah ini Bapak! Aku sudah ngomong jujur tapi nyatanya ngga bisa percaya sama aku. Dimana keadilan di dalam ruang BK ini? Apa aku juga harus nyuap pak Bambang pakai martabak biar mihak aku? kayak satpam depan kompleks rumah biar bukain portal kalau aku pulang kemalaman?
Sebelum aku pergi dari ruangan ini.
[.]

Momentum


Orang bilang jatuh cinta itu mudah. Semudah daun yang jatuh di musim gugur. Hari itu ketika aku jatuh terpuruk akibat kehilangan orang yang berharga. Kehilangan kakakku yang aku sayangi. Menyesal tanpa henti. Mengapa ini harus terjadi padaku. Mengapa harus kakak yang pergi dan bukannya aku. Kakak pergi karena menyelamatkanku dan akhirnya ia sendirilah yang mengalami kecelakaan. Sejak saat itu, aku pikir duniaku akan sepi. Juga aku tak patut untuk dicintai.

Tapi kamu datang, dengan hanya berdiri di sebelah kananku saat pemakaman di hari itu saat musim panas terjadi. Kamu datang, hanya diam sambil memegang bahu kananku dengan tangan kirimu. Kamu coba untuk menguatkanku tanpa kata-kata. Mencoba menyelami perasaanku hanya dengan bahasa tubuh yang kugunakan. Aku menangis dalam diam. Aku coba untuk berhenti berpikir negatif terus menerus. Aku masih punya orang tua, dan juga teman-teman.

Kamu juga mungkin seperti aku. Menyesal sama besarnya sepertiku. Kamu saksi saat itu, begitupula denganku. Aku mencoba menolongmu saat itu. Tapi kakakku kemudian menolong kita berdua. Kata-kata terakhirnya ditujukannya padamu. Saat itu, kamu juga sama putus asanya denganku. Juga mengalami rasa sakit yang sama seperti yang aku rasakan.

Hari berlalu, ketika musim panas berganti menjadi musim gugur. Ketika musim gugur mengubah daunnya dan mulai menerima hawa sejuk musim dingin. Setelah dua tahun berlalu, aku dan kamu mulai bersama. Bukan bersama dalam arti seperti sebelum-sebelumnya. Bersama dalam arti yang lebih luas. Kita duduk berdua di tepi pantai. Udara sore hari di musim panas benar-benar menyenangkan. Langit itu menguning dengan cantiknya. Membuat bias cahaya di permukaan laut yang berkilauan.

“Hinata.”
“Naruto.”
“Ahahaha.”

Aku dan kamu menyebut nama masing-masing bersamaan sehingga membuat kita tertawa setelahnya. Kata orang, kalau bicara bersamaan itu artinya jodoh. Entahlah aku mengendikkan bahuku.

“Kenapa?” tanyanya yang sepertinya melihat tingkah lakuku yang aneh, hasil dari pemikiran absurdku tadi.
Aku menggeleng, kemudian menjawab, “Naruto tadi mau bilang apa?”

Ku lihat dari sudut mataku ia mulai menggaruk belakang kepalanya dengan sebelah tangan kanannya. Setelah bersamanya selama ini, aku mengetahui kalau itu adalah kebiasaanya saat gugup menghampirinya atau saat malu ia rasakan. Aku merasa pipi Naruto memerah sehingga aku bertanya.

“Kenapa? Pipimu merah Naruto,” ujarku padanya.
“Tidak, cahaya matahari sore membuatmu salah lihat.” Katanya sambil mengalihkan pandangannya ke samping menjauh dari pandanganku.
“Sekarang malah tambah merah.”

Aku menggeleng pelan, enggan bertanya lebih lanjut. Aku menghirup udara di sekitar dalam-dalam. Kita yang duduk berdua di depan laut yang membentang luas seolah alam semesta menjadi saksi bisu dalam obrolan menyenangkan yang aku lakukan denganmu. Aku duduk menekuk lututku, jaketku kugunakan untuk menutupi bagian tubuh bawahku karena aku menggunakan rok sebatas lutut saat ini. Sedang jaketmu kamu gunakan untuk menjadi alas tempat duduk kita. Kita duduk berdua, tanpa jarak yang jauh karena bisa kurasakan bahumu yang selama beberapa detik bersentuhan dengan bahuku.

“Naruto, aku suka laut. Laut itu biru. Mata Naruto... juga biru. Dan itu indah.”

Aku berinisiatif untuk memecah keheningan. Aku mengatakannya sambil memandang ke depan. Walau sebenarnya ingin mengetahui ekspresi macam apa yang ada di wajahnya namun kuurungkan sementara. Namun saat aku sudah dalam batas kesabaranku, aku meliriknya dari sudut mataku lamat-lamat. Tetapi akhirnya aku melihatnya tanpa sabar dan bola mataku membesar sesaat.

Itu sebuah ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ia bukanlah menatapku. Ia memandang jauh ke depan, pandangannya menerawang ke arah laut, lebih tepatnya langit yang berada di atas laut, di atas batas cakrawala namun bibirnya mengulas senyum bahagia yang ia tahan dengan hanya mengangkat sedikit sudut-sudut bibirnya. Sekali lagi senyum bahagia yang tertahan.

Aku memiringkan kepalaku  ke kiri menghadapnya sehingga surai rambut panjangku yang kugerai jatuh mengikuti arah gravitasi yang kulakukan. Namun kemudian ia menoleh padaku, mendekatkan wajahnya kepadaku sehingga aku terkejut dan hampir jatuh ke belakang jika sebelah tangannya  yang kiri itu tidak menopangku dengan segera.
[.]
 

Searching Your Smile


Disclaimer : Naruto© Masashi Kishimoto
Pairing : Naruto x Hinata
Story written by Marigold2425 / karizzta@gmail.com.
.
.
.

Searching Your Smile Chapter 1
.
Kyoto, 2 tahun yang lalu.
Hinata yang polos ingin menyatakan cinta pada seorang laki-laki berambut pirang yang bernama Naruto. Hinata yang masih mengenakan seragam Sekolah Menengah Pertama menunggu di depan gerbang sekolah dengan gugup. Dia menautkan jari-jarinya dan menarik napas panjang. Hinata dapat merasakan bahwa hal ini lebih sulit dilakukan dari yang dia bayangkan. 

Hinata melirik pada jam tangannya, biasanya jam segini laki-laki itu akan keluar dari sekolah bersama temannya yang bernama Sai dan Sakura. Meskipun Hinata sekelas dengan Naruto tetapi setiap hari laki-laki itu pasti akan pulang lebih telat dari biasanya. Hinata melihat sekeliling sekolah yang tampak sepi. Murid-murid yang lain telah pulang dengan berjalan kaki ataupun menggunakan bus.

Hinata biasanya akan pulang bersama Kiba ataupun Shino, temannya yang lain yang satu kelompok belajar dengannya. Namun karena hari ini adalah hari terakhir sebelum liburan musim panas maka mereka memutuskan untuk pulang sendiri-sendiri karena memiliki urusan masing-masing. Kiba beralasan bahwa Akamaru, anjingnya yang berbulu putih itu sedang mengalami patah hati karena ditolak oleh anjing tetangganya sehingga dia buru-buru pulang karena khawatir dengan kondisinya. Sedangkan Shino mengatakan bahwa serangga-serangga sudah waktunya musim kawin. Hinata beritahu, serangga milik Shino itu jumlahnya ratusan.

Hinata mendengar suara yang tidak asing di telinganya, diikuti siluet tiga orang yang berjalan dari dalam gedung sekolah menuju ke arah gerbang sekolah. Tiba-tiba Hinata semakin gelisah, dia menggigit bibir bagian dalam miliknya untuk mengurangi rasa gugup. Kemudian tanpa sadar, Hinata bersembunyi di balik dinding pagar sekolah ketika tiga orang itu semakin dekat menuju ke arahnya. Setelah ketiga orang itu keluar dari gerbang, mereka berjalan lurus tanpa melihat Hinata. Mereka asyik dengan percakapan mereka sendiri.

Hinata yang melihat punggung seseorang yang ditunggunya sedari tadi semakin jauh merasa panik lalu kemudian berteriak, “Naruto-kun!.” Mungkin ini adalah teriakan paling keras yang pernah dikeluarkan oleh mulutnya. Naruto berbalik, melihat pada seorang gadis yang menundukkan kepalanya. Mengisyaratkan pada Sai dan Sakura yang ikut berbalik memandang ke arah gadis itu untuk pergi mendahului Naruto. Sai dan Sakura mengangguk lalu pergi.

Naruto lalu berjalan ke arah gadis itu. Semakin dekat dan berhenti setelah tersisa tiga langkah dari gadis itu. Naruto belum mellihat wajahnya dikarenakan gadis itu yang menunduk, tapi Naruto mengenal suaranya. Juga dilihat dari postur tubuh dan rambutnya, dia sepertinya teman sekelasnya yang bernama Hinata. “Hinata?” panggil Naruto. Dia mencoba menebak-nebak.

Hinata yang mendengar Naruto lalu mengangkat wajahnya. Melihat Naruto dari jarak sedekat ini membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Wajah Hinata memanas, dalam hatinya dia merasa sangat senang karena Naruto mengingat namanya. Hinata tidak akan menyalahkan Naruto jika tidak mengingatnya karena Naruto memang jarang masuk kelas, kalaupun masuk dia akan selalu datang terlambat.

Hinata mengumpulkan keberaniannya lalu mulai berkata dengan terbata, “Na-naruto-kun. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Naruto yang melihat tatapan serius dari gadis di depannya, dia mengangguk meminta Hinata melanjutkan ucapannya. Hinata yang tak kunjung berkata membuat Naruto bertanya, “ada apa?” Naruto bertanya pelan. Melihat Hinata yang walaupun gugup tapi tidak takut padanya membuat Naruto tersenyum kecil. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa Naruto hampir ditakuti oleh seluruh murid di sekolahnya ini. Mereka menganggapp Naruto wajib dijauhi jika berpapasan dengannya. Hal itu dikarenakan Naruto sering terlibat adu perkelahian di dalam sekolah ataupun di luar. Mereka tidak peduli alasan di balik penyebab perkelahian itu.

Hinata yang melihat Naruto tersenyum membuatnya ingin pingsan. Dia kemudian melirik sekeliling, walaupun sekolahan sudah sepi namun dia akan merasa sangat malu jika ada yang melihatnya menyatakan cinta saat ini. “Bisakah kita pergi ke suatu tempat terlebih dahulu?” pinta Hinata padanya. Naruto terlihat bingung tetapi tetap menyetujuinya. Hinata mengajaknya ke tepi sungai. Cukup jauh jaraknya dari sekolah.

Hinata berdiri berhadapan dengan Naruto. Rambut panjangnya bergerak mengikuti angin. Cahaya senja menerpa wajah Naruto yang berdiri berlawanan arah dengan tenggelamnya matahari. Sungai yang tenang namun dalam berkilau memantulkan sinar mentari dan rel kerete yang letaknya tidak jauh dari sini akan menjadi saksi bisu untuknya. Hinata menarik napas kemudian berteriak sekencang-kencangnya melawan desing kereta yang bergerak, “Naruto-kun, aku menyukaimu.”

Naruto terpaku tapi itu hanya sebentar saja karena kata-kata yang kemudian dia ucapkan adalah, “Sial.” Naruto mendengar suara Hinata, dia mendengarnya tapi tatapannya menjadi tajam. Bukan pada Hinata, tapi pada sesuatu di belakang Hinata. Belum sempat Hinata berbalik untuk melihat apa yang menjadi fokus Naruto. Terdengar sahutan kencang dari arah belakang yang memanggil nama Naruto.

Naruto menarik pergelangan tangan kiri Hinata tanpa persetujuannya, mengajaknya berlari melewati tangga kecil yang tersedia di tepi sungai, menuju jalan utama. Terus berlari sampai di tempat perumahan warga yang terdapat banyak gang. Kemudian memilih memasuki salah satu gang dan bersembunyi di dekat tong sampah yang besar. Naruto dan Hinata berjongkok berdekatan, Hinata berada di belakang Naruto. Entah ini keberuntungan atau kesialan, gang yang mereka masuki termasuk gang buntu.

“Na-naruto-kun,” dengan deru napas memburu sehabis berlari Hinata memanggil nama Naruto lirih ingin menanyakan hal yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi Naruto mengisyaratkan Hinata dengan telunjuk kirinya di bibir Hinata agar tetap diam, “ssssttt.” Sedang Naruto mengawasi keadaan. Hinata menurut, meneguk salivanya pelan dan memilih diam. Sekarang ini, Hinata tidak tahu alasan mengapa jantungnya berdegup begitu cepat. Apakah karena Naruto atau karena habis berlari atau karena takut tertangkap oleh orang yang tak dikenalnya tapi mengenal Naruto? Hinata mengutuk dirinya yang masih sempat-sempatnya menikmati momen ini. Diam-diam Hinata melirik pada genggaman tangan kanan Naruto padanya tangan kirinya. Genggaman tangan Naruto terasa kuat dan pasti.

Setelah memastikan dua orang yang mengejar mereka tadi tidak terlihat kembali. Naruto bernapas lega dan mengajak Hinata berdiri sehingga membuat genggaman tangan mereka terlepas. Hinata sedikit terlihat kecewa atas hal ini. Naruto mengamati keadaan sekitanya dengan berhati-hati, takut-takut orang yang mengejarnya tadi muncul kapan saja. Naruto jelas mengenal wajah dua orang itu, wajah yang terakhir kali babak belur setelah dihajar olehnya. Naruto tahu mereka akan membalas dendam, tapi keadaannya saat ini tidak memungkinkan untuk bertarung. Keselamatan gadis di sampingnya menjadi prioritasnya.

Naruto melirik gadis di sampingnya, “Hinata.” Gadis yang dipanggilnya mendongakkan kepalanya menatap Naruto yang lebih tinggi darinya. “Kalau kau melihat orang yang mencurigakan yang bertanya tentangku, katakan kau tidak mengenalku atau tidak tahu apapun tentangku oke?” pinta Naruto. “Juga nantinya, berpura-puralah tidak mengenalku saat berpapasan denganku di jalan.” Lanjut Naruto. Karena itu hal rawan bagi Hinata, pikir Naruto dalam hati.

“Eh?” Hinata terkejut dengan permintaan Naruto. Hinata tidak langsung menjawab atau mengiyakan tetapi balas menatap Naruto dengan tatapan yang sulit diartikan oleh laki-laki. Naruto memandang Hinata yang di dalam matanya mengandung kesedihan dan kekecewaan? Naruto heran, mungkin dia salah mengartikan tatapan Hinata. Dia tidak pandai membaca tatapan seorang gadis. Dia biasanya bertanya pada Sai, jika laki-laki berada di dekatnya.

Naruto menggaruk kepalanya dengan sebelah tangannya, lalu kemudian mengubah tatapan matanya menjadi serius. “Hinata, dengarkan aku. Ke depannya, jangan terlibat denganku, mengerti?” pintanya lagi. Tapi bagi Hinata, ucapan Naruto terdengar seperti penolakan untuknya. Jangan terlibat lagi? Ayolah, kalau begitu dirinya tidak boleh berada di dekat Naruto? Masa bodoh dengan hal yang terjadi ke depannya, Hinata hanya ingin berada di dekat Naruto, pikir Hinata dalam hati.

Hinata ingin menggeleng tapi melihat tatapan Naruto yang menjadi tajam dan mematikan, membuat Hinata mengangguk, “Aku mengerti,” jawab Hinata. Naruto menghembuskan lega mendengar jawaban Hinata. “Ayo, aku antar kau pulang,” ajak Naruto pada Hinata untuk berjalan lagi. “Kau pulang dengan naik bus atau kereta?” tanya Naruto.

“Kereta,” kata Hinata lirih yang sekarang menjadi tidak bersemangat. Setelah sampai di stasiun, Naruto bersikeras untuk mengantarnya sampai di rumah Hinata karena hari semakin malam. Tapi Hinata menggeleng dan mengucapkan terimakasih. Lagipula, arah rumah Hinata berlawanan dengan rumah Naruto. Terkadang, Hinata tidak mengerti isi pikiran Naruto, bukankah tadi laki-laki itu menyuruhnya untuk menjauh?

Setelah sampai di rumah, Hinata membuka pintu rumahnya dengan pelan. Sebelum memasuki kamarnya, dia melihat Hanabi, adik satu-satunya itu berada di dekat pintu kamarnya. “Bagaimana?” tanya Hanabi. “Apanya?” jawab Hinata tidak mengerti. “Bagaimana pernyataan cinta kakak?” katanya langsung mengenai sasaran. Ada kerlingan nakal pada tatapan yang diberikan Hanabi. Hinata terkejut, memicingkan matanya curiga bagaimana Hanabi tahu soal ini, dia berdehem kemudian berpura-pura tidak mengerti ucapan Hanabi, lalu memasuki kamarnya yang tidak dikunci.

Hanabi yang diabaikan hanya mengendikkan bahunya. Dia melihat pintu kamar yang tertutup itu lalu berjalan pergi ke kamarnya sendiri. Hanabi memang terlihat tidak peduli, tapi sebenarnya dia agak khawatir dengan kondisi kakaknya. Melihat raut wajah kakaknya tadi sepertinya tidak berjalan mulus. Hanabi yang tanpa diketahui kakaknya itu ternyata sering memasuki kamar Hinata hanya untuk diam-diam membaca buku harian milik kakaknya sehingga dia tahu persis bagaimana perasaan Hinata pada laki-laki itu.

Hinata yang terlentang di kasurnya, memandang langit-langit kamarnya. Kemudian beralih posisi miring melihat kalender yang terpasang di dinding kamarnya. Selama liburan musim panas ini, dia tidak akan bisa melihat Naruto dalam waktu yang lama. Juga karena mereka telah memasuki tahun ketiga maka sebentar lagi mereka akan lulus. Walaupun Hinata nantinya dapat mengikuti sekolah yang akan dituju Naruto tetapi kata-kata Naruto barusan masih terngiang-ngiang di kepalanya. Juga wajah ayahnya yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya dengan tatapannya yang tegas membuat Hinata berpikir ulang, karena tentunya ayahnya itu menginginkan sekolah yang berkelas.
  
Begitulah cinta pertama Hinata berakhir.
.
.
.
 Searching Your Smile Chapter 2
.


Jika mencintaimu begitu sulit, aku akan berusaha.
Jika dicintai olehmu membutuhkan waktu, aku akan menunggu.

Berkali-kali Hinata menyaksikan pemandangan di depannya dengan pandangan datar. Ia terlihat bosan dan memilih mengambil permen karet kesukaannya yang berada di dalam saku rok sekolahnya. Dia membuat sebuah gelembung dari permen itu kemudian meletupkannya sehingga akibat ulahnya benda itu menempel pada bibirnya lalu dia telan kembali. Untuk beberapa menit ke depan hal itulah yang akan dilakukannya untuk mengurangi rasa bosannya.

Hinata sedang berada di dalam kelas. Dari balik jendela kelas, manik matanya memicing melihat apa yang sedang terjadi. Beruntung  ruang kelasnya tidak dekat dengan pemandangan yang sedang ia lihat. Tapi dia merasa kalau dirinya sedang mengintip atau menguping atau menguntit atau apalah itu namanya, yang jelas hal itu tidaklah baik. Hinata tahu itu, rasanya seperti ikut campur dalam urusan orang. Tapi sekarang hal itulah yang sedang dia lakukan. Hinata melihat peristiwa yang kata temannya disebut “pertunjukan seni”. Kalau dipikir-pikir tidak salah memang, seni adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa. Peristiwa yang sedang dilihatnya itu termasuk dalam kategori seni, seni mencintai.

Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Begitulah peribahasa yang pernah Hinata dengar di sinetron kesukaannya. Jangan tanya apa sinetron kesukaan Hinata. Yang jelas bukan berkaitan dengan bubur atau tukang bubur. Hinata yang tadinya berdiri di dekat jendela kelas kemudian berbalik dan berjalan ke tengah rungan itu. Dia dudukkan dirinya di atas meja kelas, kemudian mengayun-ayunkan kakinya yang sesungguhnya hampir menyentuh lantai. Kali ini ia buang pandangannya ke arah papan tulis. Kemudian di menoleh ke samping kiri, tempat dia menaruh tasnya.

Dia lihat tas yang tadi dia taruh di kursi di samping meja yang sedang dia duduki. Ada dua tas, yang satu milik Hinata dan yang satunya milik seseorang.  Seseorang itu pasti sebentar lagi datang, pikir Hinata. Gadis berambut panjang itu membalikkan badan ketika dirasa yang ditunggunya telah hadir. Terdengar dari derap langkah kaki seseorang. Yang pertama kali dia lihat adalah sepatu orang itu.

“Sudah?” tanya Hinata, memalingkan wajahnya pada orang itu. Yang ditanya hanya mengendikkan kedua bahunya.
“Terima kasih sudah menjaga tasku,” jawabnya dengan nada rendah sarat  kelesuan.

Benar, Hinata hanya disuruh menjaga tas dari cowok berambut pirang itu. Bodoh sekali dirinya, harusnya ia sudah pulang dari tadi mengingat bel pulang sekolah sudah berdenting sedari tadi. Tapi ia malah berdiri sendirian seperti penyelundup atau lebih tepatnya anak hilang sambil melihat adegan tak jelas. Benar, tak jelas adanya karena Hinata bahkan tidak mendengar percakapan yang mereka lakukan di kebun belakang sekolah. Bukannya Hinata penasaran, hanya saja... ah sudahlah. Hinata ingin pulang sekarang.

“ Sebagai gantinya, akan kutraktir ramen,” kata cowok itu  sambil menuruni anak tangga menuju lantai dasar sekolah. Benar, kelas mereka berada di lantai dua.

Hinata memutar bola matanya namun tetap mengangguk. Sudah seharusnya Hinata mengetahui kalau tidak ada kata selain “Ramen” yang akan terlintas di otak pemuda itu jika menyangkut membalas budi seseorang. Sebenarnya Hinata ingin menolak, tapi tidak sopan rasanya mengingat Hinata diajarkan menghargai seseorang. Tiba-tiba Hinata penasaran dengan sesuatu.

“Ada apa dengan pipimu itu?” tanya Hinata yang berjalan di samping kanan Naruto, nama cowok itu. Hinata melihat pipi cowok itu yang merah.
Kali ini giliran Naruto yang memutar bola matanya. “Kau seperti tidak tahu saja,” katanya dengan malas.
Oh Hinata tahu! Mungkin itu yang temannya sebut ‘korban kekerasan’.
“Sabtu nanti, bagaimana?” ajak Naruto yang sepertinya memilih mengganti topik pembicaraan.
“No problem. But damn, why only the word ramen in your mind every day?”

“Jangan menggunakan Bahasa Alien, aku tidak mengerti.” Ujar Naruto dengan raut wajah kesal.
Hinata memang sengaja berbicara dengan cepat agar Naruto tidak perlu menanyakan hal ini pada orang lain. Pernah sekali dua kali dirinya berbicara menggunakan Bahasa Inggris dan Naruto mencatat apapun yang ia dengar dan kemudian menanyakannya pada orang lain dan itu membuat orang lain yang ia tanyai bingung karena tidak sesuai.

Alasannya sederhana, penasaran. Mungkin itu juga salahnya karena tidak menjawab jika Naruto bertanya artinya.  Bagaimana Hinata akan menjawab, kalau kebanyakan yang ia ucapkan berupa umpatan saat ia berbicara bahasa itu. Bagaimana jika Naruto menanyakannya pada guru maka ia akan terkena masalah. Itulah sebabnya Hinata tidak memberitahukan Naruto dan itu membuat Naruto kesal.

“Apa maksudmu Bahasa Alien?!” gerutu Hinata dengan bibir mengerucut.
“Yang ada, kaulah Aliennya.” Lanjut Hinata.
“Tidak lucu, Hinata.” Kata Naruto tepat setelah mereka melewati gerbang depan sekolah.

Tapi, tetap saja, Hinata adalah Hinata, ia akan protes jika mata pelajaran kesukaannya dihina oleh orang lain. Sedangkan Naruto, hanya karena ia tidak menyukai pelajaran itu atau sesuatu yang tidak ia sukai, ia akan menghabiskan dirinya untuk berbicara sepanjang waktu sampai teman debatnya lebih memilih mengalah karena lelah berbicara dengan Naruto. Dan hari itu Hinata habiskan dengan berdebat dengan Naruto sepanjang jalan.
Ooo
Di suatu sore di hari sabtu, Hinata menemukan Naruto sudah berdiri di depan rumahnya.  Hinata melihat penampilan Naruto dari atas ke bawah, Naruto hanya mengenakan pakaian yang sederhana, celana jins panjang dengan kaos lengan pendek yang dilapisi jaket baseball.
Tapi anehnya ia terlihat gugup, tangan kirinya menggaruk belakang kepalanya sedangkan yang satunya membawa bola basket. Tapi tunggu, apa maksudnya dengan membawa bola itu? Walaupun Hinata penasaran tapi ia mengurungkan diri bertanya.

“Ayo, pergi.” Ucap Hinata sambil memulai langkahnya.
“Tunggu, kau pergi dengan pakaian seperti itu?” Naruto bertanya dengan gestur khawatir.
“Apa maksudmu dengan pakaian seperti itu?” Hinata berhenti kemudian berbalik badan untuk menjawab.

Hinata melihat dirinya sendiri. Hari ini ia mengenakan celana pendek dan kaos pendek yang dilapisi dengan sweaternya. Dan juga rambutnya yang biasanya ia gerai dirinya kuncir kemudian di tambah topi. Mirip gadis pengambil bola golf sebenarnya. Apa itu namanya.. cad.. cat.. cet.. entahlah. Hinata menggendikkan bahunya, menyerah pada pikirannya. Apa yang salah dengan berpakaian seperti ini? Ini sederhana, dan cukup untuk tidak membuatnya kerepotan. Apa Naruto mengharapkan yang lain?
“Ini hanya makan ramen.” Kata Hinata pada Naruto.
“Benar juga. Hanya makan ramen,” Ucap Naruto menekankan pada kata ‘hanya’, meninggalkan Hinata dalam kebingungan di belakangnya dan berlalu pergi.

Hinata tidak tahu mengapa Naruto terlihat kecewa atau mungkin dirinya salah lihat. Tapi sepertinya tidak, dia memang terlihat kecewa. Selama perjalanan sampai di Kedai Ramen langganannya ia sama sekali tidak kelihatan ingin berbicara. Bahkan setelah memakan ramen dia masih menutup mulutnya. Sampai ketika perjalanan pulang, setelah Hinata melewati sebuah lapangan umum di pinggir jalan, Naruto meminta berhenti dan disinilah Hinata, duduk di sebuah bangku panjang berbahan dasar besi.

“Jadi, ini alasan mengapa kau membawa bola itu?” tanya Hinata sambil menunjuk ke arah Naruto.
“Hmm.” Naruto bergumam sambil mendribble bola.
“Mau bermain?” tawarnya kemudian.

Hinata menggeleng. Bukannya Naruto mengetahui Hinata bad skill mengenai sesuatu yang berhubungan dengan olahraga? Mengapa mengejar sesuatu yang jawabannya sudah pasti tidak? Ataukah Naruto lupa? Benar, mungkin pertanyaan terakhir lebih masuk akal. Naruto buruk dalam mengingat suatu hal. Lebih dari itu, ada hal penting yang ingin Hinata tanyakan.

Hinata melihat Naruto masih mendribble bola, sesekali melakukan jump shot pada bolanya. Hinata memicingkan mata, melihat peluh yang bertetesan pada wajah dan dahinya. Yang Hinata pikirkan sekarang adalah mengapa Naruto tidak sakit perut setelah makan Ramen jumbo super pedas dan setelahnya berlari-lari seperti ini. Ada yang pernah berkata, Orang bodoh kebal terhadap penyakit. Naruto berhenti setelah melakukan shot pada bolanya, nafasnya masih terlihat memburu.

“Kenapa kau tinggi sekali?” tanya Hinata. Inilah hal penting yang Hinata maksud tadi .
 “Aku rajin olahraga, tidak seperti kau.” Tunjuk Naruto pada Hinata, lalu tertawa geli melihat wajah gadis itu merengut.
“Kau ingin tahu, hal lain yang membuat cepat tinggi?” Naruto bertanya balik.

Hinata mengangguk antusias. Apalagi tidak seperti biasanya Naruto memberi saran, biasanya Naruto hanya akan menjawab dengan candaan yang membuatnya kesal. Mengenai hal ini, Hinata hanya penasaran mengapa anak laki-laki bisa tumbuh begitu tinggi. Hinata mulai melihat, Naruto berjalan ke arahnya.

“ Pertama, minum susu setiap hari... atau...”
“Atau?” Hinta mengikuti perkataan Naruto sambil menatap mata Naruto. Dapat dia lihat Naruto yang sudah berjarak bergitu dekat dengannya.
“Kau bisa menikah denganku,” ujar Naruto tepat setelah dia mensejajarkan wajahnya pada Hinata yang duduk di bangku panjang yang berada disitu.
“Uhuk—“ Hinata terkejut hingga terbatuk, entahlah rasanya seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya.
“Kau mau membunuhku ya?”
Naruto hanya tersenyum.

“Apa hubungannya menikah dengan tumbuh tinggi?” tanya Hinata.
“Apa kau habis jatuh dari pohon?” tanya balik Naruto yang berpikir apakah Hinata sedang pura-pura tidak tahu.
“Hah?”
“karena kau mendadak menjadi bodoh.” Naruto menjawab sambil menekankan kata terakhir yang diucapkannya.
“Apa maksudmu?” tanya Hinata tidak terima dengan kata-kata yang diucapkan Naruto.
“Kau tahu maksudku.”
“Mengapa murid yang punya nilai sains tertinggi mendadak tidak tahu mengenai hal itu? Apa kau habis jatuh dan mendadak gegar otak?”

Hinata memandang Naruto jengkel.
Hinata memperhatikan Naruto dengan seksama. Dia melihat mulut Naruto yang sedang bergumam seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Setidaknya anak kita bisa tumbuh tinggi,” gumam Naruto lirih.
Tik.tok. tik.tok. satu detik, dua detik, tiga detik. Butuh waktu untuk memproses gumaman lirih Naruto yang ia dengar. Sampai kemudian dia mengerti, dirinya terkejut.
“Hah?”
Hinata memandang Naruto dengan bingung. Berfikir mungkin saja telinganya salah mendengar. Tapi yang jelas, jika ini merupakan candaan dari Naruto maka ini benar-benar tidaklah lucu.


[.]


Dalam perjalanan pulang, kaki-kaki mereka berjalan lebih lambat dari biasanya. Semburat senja telah pergi bersamaan dengan dihidupkannya lampu-lampu di pinggir jalan. Naruto melirik Hinata yang berjalan bersisian dengannya. Wajah Hinata nampak tanpa ekspresi di lensa matanya. Sorot matanya tajam menatap ke depan namun sendu disaat bersamaan. Di saat malam seperti ini, dirinya dapat menemukan sosok Hinata yang terkesan lebih penurut dan lebih tenang. Tidak ada celotehan atau ejekan. Hanya ada Hinata yang seperti menjelma menjadi sosok yang lain.

Satu hal yang disesalkan Naruto dari Hinata adalah gadis itu yang tak pernah lagi tersenyum dengan mudah. Senyum yang muncul darinya adalah senyum kecil yang menghilang tanpa bertahan lama. Kemungkinan Hinata hanya akan menarik sudut bibirnya ke atas dalam beberapa detik saja. Apalagi tawa yang muncul. Tawanya adalah sesuatu yang langka. Tapi langka bukan berarti tidak ada. Naruto akan berusaha untuk mewujudkannya.

“Hei, Naruto.” Lamunan Naruto buyar tatkala Hinata memanggilnya, membuatnya seketika berhenti dari jalannya.
“Di depan ada tiang listrik.” Seketika Naruto melihat lurus ke depan. Entah bagaimana dirinya berada kurang lebih dua puluh centimeter dari tiang listrik tersebut. Ia menggeser tubuhnya  ke jalanan yang lebih lebar.
“Seharusnya aku tidak memberitahumu, pasti akan terlihat lucu.” Naruto melihat sekeliling yang sepi, hanya ada satu atau dua orang yang lewat di jalan ini. Mungkin bisa dibilang malam ini dirinya beruntung.

“Hinataaaa,” Naruto pura-pura merengek dan Hinata tersenyum kecil karenanya. Naruto yang melihatnya juga ikut tersenyum. Naruto yang masih di tempat membuatnya tertinggal dari Hinata yang sudah melangkah. Dari belakang, Naruto dapat melihat punggungnya yang tertutupi surai panjangnya.

Naruto berpikir, jika Hinata dapat tersenyum berkali-kali hanya karena hal sepele maka sepertinya dirinya rela jika harus berkali-kali menabrakkan diri ke tiang listrik. Tapi sebelumnya izinkan dirinya pergi ke kuil terlebih dahulu untuk berdoa meminta tambahan nyawa.

“Naruto, apa yang kau tunggu,” Kata Hinata yang melihat ke belakang. Dia berhenti dari jalannya karena menunggu pemuda itu yang lagi-lagi terlihat seperti melamunkan sesuatu. Naruto yang berjalan di sisi kirinya tertinggal jauh di belakang.

Naruto menggeleng lalu berlari kecil untuk menyusul Hinata dan kembali berjalan bersama. Hinata mungkin tidak tahu, tapi saat berjalan bersisian dengannya adalah salah satu momen menyenangkan dalam hidup Naruto.

“Ne, Hinata. Bukankah bulannya indah?” Naruto menunjuk ke arah langit. Naruto yang kali ini bertanya membuat Hinata berhenti berjalan dan ikut memandang ke arah yang ditunjuk Naruto. Memandanng pada bulan yang malam ini berbagi sinarnya.

“Apa menurutmu bulan itu indah Naruto?” tanya balik Hinata padanya.

“Benar, indah.” Naruto menjawab dengan lirih. Lensanya terpaku pada wajah Hinata yang sedang melihat ke arah langit. Sinar rembulan itu seolah memantul ke wajah Hinata atau mungkin ini salah satu delusi Naruto yang sudah mencapai tahap akhir.

“Aku pikir, bulan itu menyedihkan.” Hinata berkata masih memandang ke arah bulan. Kedua tangannya dia satukan dalam satu genggaman tangan. Naruto yang mendengar kalimat yang dilontarkan Hinata seketika membuatnya menajamkan matanya pada gadis itu.

“Mengapa?” tanya Naruto. Ia heran dengan pemikiran Hinata. Hinata seringkali berkata sesuatu yang tak dapat ia pahami. Namun Hinata yang terlalu larut dalam perasaan sedihnya, Naruto tahu ia tak akan suka hal itu terjadi.

“Bukankah bulan selalu bergantung pada matahari? Dia bersinar terang bukan karena dia memiliki cahayanya sendiri. Dia tidaklah seindah yang orang pikirkan.” Hinata melirik ujung matanya pada Naruto dan tertegun melihat Naruto yang berubah menjadi serius.

“Aku heran jika itu memang benar Hinata. Tapi apa gunanya matahari jika tidak ada bulan? Bintang memang mempunyai cahayanya sendiri tapi dia begitu jauh. Harus kepada siapa matahari membagi sinarnya ketika malam tiba? Apa salahnya bergantung pada seseorang yang selalu ada? ” Naruto berujar sambil menatap dalam mata Hinata. Lalu dirinya tersenyum pada Hinata.

Hinata merasa aneh melihat Naruto yang terlihat serius hanya disaat seperti ini. kata hatinya seolah Naruto mengatakan ‘Harus kepada siapa Naruto membagi perasaannya jikalau Hinata tidak ada?’

“Lagipula menurutku kalau bulan itu indah ya indah. Kalau bulan cantik ya cantik. Tidak peduli pendapat orang lain.” Naruto melanjutkan jawabannya yang tedengar tegas namun sederhana disaat bersamaan.

Lagi-lagi kalimat Naruto terdengar seolah mengatakan ‘Kalau Hinata cantik ya cantik. Tidak peduli pendapat orang lain.’ Hinata menepuk kedua pipinya berkali-kali menggunakan tangannya. Sepertinya dia mengalami Halusinasi pendengaran tingkat tinggi. Dia harus pergi berobat besok pagi.

“Tapi tunggu, kenapa membahas bulan sampai sebegini jauhnya?” tanya Naruto yang kembali dalam mode normal.

“Bukannya Naruto yang memulainya?” balas Hinata pada Naruto.  Hinata menggeleng pelan, heran jika Naruto memang seperti itu.

“Itu memang benar, tapi...” Naruto mecoba mengingat-ingat awal mula percakapan mereka tadi.

“Bukankah ini berarti malam ini malam bulan purnama?” tanya Hinata. Naruto mengangguk sebagai jawaban. Kenapa Naruto merasa Hinata sedang mengalihkan pembicaraan? Tapi kata hati Naruto tiba-tiba

“Aku penasaran jika vampire dan serigala akan berburu makanannya malam ini?”

“Eh?” Naruto menggaruk lehernya yang tidak gatal. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Dia melihat sekelilingnya yang sepi. Kemudian melihat Hinata yang sudah berjalan jauh di depannya dan berteriak, “Hinata tunggu.”

Naruto berharap dirinya dapat tidur malam ini tanpa bermimpi buruk.
 [.]

Bel Istirahat telah berbunyi. Hinata melihat bangku sebelahnya telah kosong. Pemiliknya yang duduk di dekat jendela itu telah pergi entah kemana. Hinata mengeluarkan sekotak makanan, ikut beranjak pergi dari ruang kelasnya. Hinata menggerakan matanya ke segala penjuru dan menemukan orang yang dicarinya sedang berdiri sendirian memandangi sesuatu.

“Aku mencarimu. Ternyata kau disini.” Hinata berkata setelah berdiri bersisian dengan Naruto yang sedang melihat sebuah poster yang tertempel di papan pengumuman. Posisi mereka yang berdiri terlalu dekat membuat bahu Naruto dan Hinata hampir bersentuhan.

“Festival Tanabata?” tanya Hinata setelah membaca isi poster tersebut.

“Benar. Kau mau ikut?” Naruto menjawab dengan tanpa mengalihkan mata birunya dari poster tersebut. Hinata bahkan penasaran apa yang menarik dari poster tersebut. Kalau dilihat, itu hanya sebuah poster biasa.

Hinata yang tidak kunjung menjawab membuat Naruto mengalihkan pandangannya ke arah samping kirinya. Naruto menemukan Hinata yang berlagak berpikir dengan menggunakan ujung jari telunjuknya yang dia letakkan di dagunya.

“Sepertinya tidak bisa.” Hinata berkata sambil menggelengkan kepalanya. Membuat Naruto penasaran akan alasannya.
“Kenapa?” tanya Naruto penasaran. Naruto meyakinkan dirinya ini hanya rasa penasarannya atau rasa ingin tahunya saja. Bukannya ia ingin ikut campur dalam masalah Hinata.
“Aku ada urusan,” jawab Hinata cepat.
“Urusan apa?” tanya Naruto bertanya lagi. Naruto menjadi heran urusan seperti apa yang membuat Hinata terlihat begitu sibuk.

“Sejak kapan kau banyak bertanya Naruto?” balas Hinata. Hinata bukannya tidak ingin memberitahu. Tapi terkadang, ada hal yang sebaiknya tidak kau beri tahu pada orang lain. Menjadi orang yag terlalu jujur juga kadang membawa masalah.
“Benar, bukan urusanku juga,” Naruto berkata lirih kemudian pergi dari tempat itu meninggalkan Hinata.

“Eh tunggu! Aku ingin mengajakmu makan siang.“ Hinata berujar melihat Naruto yang sudah berjalan pergi. Hinata heran apa yang salah dengan kata-katanya. Akhir-akhir ini Naruto sering merengut atau Naruto sedang pms? Ah tidak mungkin. Naruto kan laki-laki? Kecuali jika ia melakukan operasi transgender tanpa sepengetahuannya.
[.]

Terrarium